Pages

Minggu, 19 Desember 2010

Bias Nuansa Jingga-Biaz

XX+324, Cetakan pertama 2008

Penerbit Fouris (Penerbit Indie)










Saya kenal penulisnya. Kami sahabat yang sering berkerjasama dalam berbagai kesempatan. Lalu saya hendak memotivasinya untuk menulis kembali dan bangkit dari kevakumannya. Entah karena kesibukan atau entah ada alasan lain. Maka saya membuat review ini semerta-merta ingin mengapresiasi penulis.

Bias Nuansa Jingga. Judul yang mengundang seribu tanya. Apa maksud gerangan dari judul itu. Judul ini memang termasuk dalam kategori indah, kalau menurutku. Sehingga cukup menarik minat untuk melirik buku ini.

Begini, saya agak sedikit merasa terganggu dengan beberapa penggunaan istilah yang terkesan lebay dan sangat tidak umum. Niatnya membuatnya menjadi semacam bacaan sastra. Alih-alih sastra yang ada justru kenikmatan membaca agak terganggu.

Covernya agak kurang digarap dengan bagus. Warna jingga dominan sebagai pencintraan dari judulnya hanya dipadukan oleh warna hitam. Jadi gelap dan sama sekali tak menarik. Kalau harus menimbang dengan cover yang tidak menarik semacam itu. Saya akan berfikir beberapa kali kalau hendak membelinya. Tapi mungkin kita bisa mengingat kembali pepatah “ jangan melihat sesuatu dari covernya”.

Kalau dari segi cerita saya mengatakan ini adalah novel “sangar”. Novel pop romantis religius ini bercerita tentang Vellia (tokoh utama) yang menikah hingga empat kali. Suami satu mati maka Vellia menikah lagi. Ada yang berbeda antara satu alasan pernikahan dengan alasan pernikahan berikutnya. Cukup unik. Karena biasanya kita disuguhi hanya cinta segitiga. Kalau ini cinta segilima. Makanya saya menyebutnya “sangar”.

Sinopsisnya nggak banget. Sinopsis cerita yang harusnya merupakan sekelumit tentang isi buku yang bertujuan menggugah minat pembaca dibuat seadanya. Hanya sebuah potongan dialog dalam cerita. Kita sebagai pembaca menjadi buta akan ceritanya. Dampaknya lagi-lagi butuh alasan kuat untuk membeli novel ini.

Untuk endorsmen di belakang cover diambil dari pembacanya setia yang bernama Sari. Kalau saya secara pribadi akan lebih baik memilih nama lain yang ada di halaman awal novel ini. Ada banyak endorsmen dari banyak tokoh mulai dari dosen hingga pelajar. Endorsmen dari orang yang “wah” pasti akan membuat novel ini juga akan terasa lebih elit. Semisal mengambil yang ibu dosen. Ini hanya pendapat pribadi lo!

Yang bagus dari novel ini adalah puisi – puisi yang cukup bertaburan di dalam novel.

Bisa dilihat dari salah satu petikan puisi berikut:

Tangis terus menderu

Darahku tak berhenti mengalir

Hingga…

Hingga nafas ini terputus

Hingga raga ini terhempas

Hingga jantung tak berdetak

Kebetulan penulis dari ranah minang. Jadi tak heran kalau penulis punya bakat mendayu biru. Tentu kita akan langsung mengingat AA. Navis, Muchtar Lubis, dll.

Kata pengantar diberikan oleh ayahanda penulis sendiri. Rasanya memang ini novel keluarga. Saya tidak bermasalah dengan hal ini. Pujian yang akan diberikan ayahanda penulis akan jauh lebih tulus ketimbang ketika orang lain yang memberikannya. Ehmmm…

Ending dari cerita ini tak jelek, tapi tak cukup bagus pula. Penulis berusaha dengan susah payah menciptakan adegan suspense (Red. Kejutan). Lumayan. Tapi banyak yang tidak masuk akal. Masak tokoh Khafi yang sudah digambarkan meninggal terbakar hingga Vemas menikah lagi. Eh diujung-ujung dia ternyata masih hidup dan bersembunyi karena dirawat. Oh sinetron Indonesia banget!

Baiklah. Terlepas dari kesemua “kecacatan” yang ada. Saya pikir novel perdana dari Biaz ini patut diapresiasi. Siapa tau dengan apresiasi akan memotivasi penulisnya untuk mengambangkan kemmapuannya dalam kepenulisan lebih lagi. penulisnya yang masih cukup muda waktu menerbitkan novel ini mungkin mempengaruhi cara berfikir yang masih kurang matang untuk cerita dewasa semacam ini.

Apresiasi cukup besar juga diberikan untuk keberanian penulis menerbitkan Indie novel ini. novel ini terbit juga saat FLP Yogyakarta sedang mengalami hibernasi keproduktivan. Masih gersang karya yang dihasilkan oleh anggota. Waktu novel ini terbit baru, saya masih awal masuk FLP Yogyakarta. Dan novel ini cukup memotivasi saya untuk menghasilkan novel suatu saat. Ditunggu karyanya lagi mande anin!!!

Rumcay, 22.00 WIB

19122010


Jumat, 17 Desember 2010

LEDGARD MUSUH DI BALIK KABUT


WD.Yoga

579 Hal-C I Publishing

Cetakan Pertama, November 2005




Baik karena saya ditagih penulisnya dan sudah berjanji untuk membuat review akan novel ini. Saya akhirnya membaca novel ini dengan serius. Dahi berkerut. Kata-kata dibaca detail. Samakin menemukan kesalahan semakin ada kelegaan (Jahat!). Yah, kalau saya tidak menemukan kesalahan. Nanti saya tak akan punya bahan untuk review ini.

Saya sebenarnya cukup menyesal telah membaca review buku ini di salah satu blog terlebih dahulu. Secara tidak langsung review itu menggaguku saat membaca. Saya jadi disibukkan dengan aktivitas menelisik kebenaran dari review tersebut. Benarkah begini? Benarkah begitu?

Saya akan memulai dari tokoh,

Vasthi: berhubung saya menganal Mas Yoga(mungkin lengkapnya D.I. Yoga?). Saya tau maksud pengkarakteran tokoh ini. Karakter ini digambarkan sebagai sosok akhwat (Red.Perempuan) banget. Lembut, perhatian, melo,keibuan...Dan berjilbab.apa?

Bisa dilihat dari petikan narasi ini

“…gadis itu menganakan sehelai gaun panjang berwarna putih menutupi seluruh badannya. Lengan dan ujung kakinya juga tertutup oleh baju itu. Di kepalanya gadis itu menganakan sebuah kerudung yang menutupi seluruh bagian kepala dan lehernya, dan hanya menyisakan wajahnya…”(p.23)

Dan yang ini,

“Vasthi kali ini memakai gaun berwarna hijau lembut. Gaun panjang itu dan menutupi seluruh bagian tubuhnya…”

Dan lebih islami lagi, Vasthi juga Gadzul Bashar (Red.Menjaga pandangan). Lihat narasi ini

“…Rhavi bertanya – tanya tulang leher gadis itu terbuat dari apa karena sejak tadi ia menunduk – nunduk terus!”

Tapi???

Kita beranjak ke tokoh selanjutnya dulu.

Nash:Kalau Vasthi adalah sosok yang akhwat banget maka tokoh ini ikhwan (Red.Laki-laki) banget. Bijaksana, pemegang keputusan yang penuh pertimbangan, melindungi, mengayomi. Dan tentu saja pengislaman karakter juga terjadi pada karakter ini. lihat narasi ini:

“Tidak peduli sepedih apapun hati ini melihatnya bersedih tetap saja belum menjadi haknya! Nash menurunkan tangannya dan menatap pilu.”

Benarkah tuduhan saya mas?

Nah masalahnya adalah kedua tokoh ini seperti satu tokoh. Saya suka bingung. Benar! Karakter mereka hidup. Tapi sudut penulis pada kedua tokoh ini tidak terasa berbeda. Sepertinya penulis paling susah untuk mendalami kedua karakter ini dibanding karakter lain. Jadi saya kadang susah membedakan antara keduanya.

Tokoh Nash juga serba nanggung. Perasaan cintanya nanggung ke Vasthi. Perasaanya ke orang tuanya juga nanggung. Soalnya, waktu diceritakan ketika iffaret hancur, orang tuanya meninggal. Namun Nash jauh lebih terpukul karena kenyataan bahwa kecengannya (Vasthi) membohonginya ketimbang kematian orang tuanya. Bahkan kedataran wajahnya saat kesedihan itu juga diakibatkan oleh Vasthi ketimbang kehilangan ortunya atau segala hal mengenai kotanya. Oh..cinta membutakan semuanya. Kempuan Nash juga nanggung. Apa kekuatannya? Diplomasi? Memimpin? Sepertinya butuh lebih dari sekedar ahli pedang. Bahkan sebanrnya Nash disini tidak disebut sebagai ahli pedang. Dia hanya prajurit biasa yang menggunakan pedang.

Rhavi: ini tokoh paling hidup. Paling kuat karakternya. Penulis sukses menggambarkan karakternya. Dengan tongkat dan kemampuan terbangnya. Tidak terpikir dia adalah Avatar Ang?

Gambaran akan sosok Rhavi pada gambar ilustrasinya kok membuat saya kurang puas. Tokoh sanguis ini tergambar terlalu sangar. Harusnya terlihat lebih remaja yang aktif, tempramen dan menggebu-gebu. Sedangkan pada ilustrasi gambar Rhavi terlihat sebagai pria tampan berambut panjang.

Tokoh yang lain juga begitu hidup. Kali ini penulis sukses memainkan sudut pandang. Mendalami tokohnya. Tapi saya agak kurang mengerti dengan Karra. Bagaimana dia termakan jebakan yang dibuatnya sendiri saat menjebak Nash dan rombongan waktu di Lebda dengan Esvath Kuning dan Esvat Agung. Memang dijelaskan bahwa dia termakan jebakannya sendiri. tapi bingung. Kenapa itu bisa terjadi? Bagaiman kronologisnya? Padahal itu point penting yang menentukan keberpihakan Karra selanjutnya. Saya jadi merasa penulis sejak awal memang bermaksud menjadikan Karra akan jadi tokoh pembantu utama. Apapun yang terjadi ya tetap saja dia akan menjadi tokoh pembantu utama. Tidak perlu banyak cincong, pokoknya dia akan jadi tokoh pembantu utama. Apapun yang terjadi!huft…butuh penjelasan yang lebih dari sekedar kenyataan bahwa memang dia akan dijadikan tokoh pembantu utama oleh penulis.

Oh ya ini novel sudah terbit dan tersebar keseluruh nusantara. Sudah bukan alasan bahwa ada ejaan yang salah. Saya menemukan kesalahan ketik di p.441 dan p.454. Kata “kekuatan” ditulis dengan huruf K kapital. Padalah itu kata di tengah kalimat. Apa memang begitu ya cara nulisnya?

Oh ya kematian Ladam hitam itu agak mengusik kenikmatan. Ladam hitam digambarkan dengan begitu hebatnya. Bisa melakukan kemampuan yang digunakan Esvath, baju zirah yang dari kaum Pox. Bahkan di awal Kempuan es Hardin tidak sanggup menggoresnya. Tapi dia mati dengan mudah saat melawan Hardin. Harusnya ada petempuran yang lebih sengit dari itu. Sekalipun akhirnya Hardin diceritakan mati karena pertempuran itu.

Tunggu sebentar. Seingatku bukannya Hardin hanya terluka ya? Waktu di Bab selanjutnya Hardin sudah dibopong karena mati. Saya kurang jeli kali ya?ada bagian yang tak kubaca dengan konsentrasikah?

Sayang lagi-lagi saya dikecewakan dengan kematian Sicah dan Jorian. Mereka tergambarkan sebagai keturunan Jind. Apalagi Sicah digambarkan sebagai sosok kekar, kuat dan beringas. Waktu pertumpuran akhir saya tidak mendapatkan pertempuran yang terlalu sengit. Tokoh musuh yang hebat itu mudah dikalahkan. Tidak ada pertempuran sengit yang terjadi. Jadi, saya selalu merasa akan meragukan gambaran ”Hebat” dalam setiap tokoh dicerita ini kalau toh mereka tidak hebat-hebat banget di pertempuran. Mudah banget dikalahkan. Apalagi Sicah mati bahagia ya? Semoga diampuni dosanya oleh yang Maha Tinggi. Amin.

Tidakkah merasakan kalau tokoh Sicah mirip dengan Gara di komik Naruto? Dan pertempuran Nash dengan Sicah mirip dengan pertempuran Naruto dan Gara.

Kehebatan karya ini adalah narasi dan dialog begitu cerdas dan hidup. Tokohnya jadi benar-benar bisa terasa nyata. Settingnya memang tidak sekuat LTR-nya Tolkien tapi lumayan hidup. Good job!

Banyak orang yang berkomentar akan novel ini membosankan di tengahnya. Ini karena kebanyakan konflik yang terlalu datar. Masalah diplomasi. Benar saya juga merasakannya. Datar, datar dan datar. Untung ini ketolong dengan kehebatan penulis dalam merangkai dialog dan narasi yang cerdas.

Eh ya yang saya suka adalah bangsa felis yang suka mengaung” Mrrr” dalam setiap dialognya. Dan Jahe dingin? Oh mas D.I. Yoga pasti orang yang gemar meminum Jahe dingin di angkringan sambil merenungkan ide-ide Ledgard ini.

Ada satu kesalahan fatal menurut imajinasi saya. Vasthi adalah bangsa Kolonn. Bangsanya dikenal sebagai cenayang mimpi. Harusnya di awal kenapa tidak dia katakan saja apa yang sesungguhnya yang dilihatnya dalam mimpi. Dia bisa mengatakannya kepada pejabat Iffaret. Dia bisa menggunkan statusnya sebagai putri bangsa Kolonn untuk mempertegas agar dipercaya. Seperti yang sering dilakukannya. Tidakkah dengan begitu bukan hanya Nash yang akan tertolong. Tapi semua Bangsa Iffaret. Setidaknya bangsa Iffaret sanggup mengungsi. Atau lebih menyiapkan pertempuran. Atau seperti di Sish – Jakin Vasthi sudah memanggil bantuan dari Kapten Narm untuk membantu Iffatret. Bukannkah membantunya kembali pulang ke Kolonn membutuhkan waktu beberapa hari. Tidak mustahil untuk juga mengungsikan penduduk Inffaret. Hah, ini hanya pendapat pribadi. Kalau salah ya maaf. Kalau ceritanya begitu mungkin Ledgard akan tamat di Bab 2 kali ya?hehehe…

Satu lagi, Kenapa bukan vasthi saja yang disuruh untuk berdiplomasi bersama Nash. Dengan statusnya sebagai orang yang lebih dipercaya ketimbang Karra. Tidakkah itu akan memudahkan membujuk? Sekalipun Karra mampu berdiplomasi nan cerdas. Tapi untuk masalah sepenting itu, bukankah dibutuhkan orang yang bisa dipercaya ketimbang orang hebat berdiplomasi.

Harusnya Vasthi lebih memiliki peran lebih. Vasthi tidak kunjung muncul hingga bab terakhir. Apakah perannya akan dimaksimalkan di Ledgard dua? Sudah lima tahun lo mas penulis. Ayolah sudah saat memenuhi kahuasan kami akan seri selanjutnya.

Satu lagi kenapa naga dipanggil oleh Esvath tanah. Kok ganjil banget. Apakah begitu dekatnya antara tanah dan api. Lebih rasional kalau yang memanggil adalah Esvath api. Nah, jadi kepikiran harusnya Nash itu Esvath api saja. terasa perannya akan lebih cihui ketimbang diplomat semata.

Terlepas dari gugatan-gugatan saya yang sejujurnya sangat subjektif menilai. Saya rasa harusnya novel ini booming. Novel ini cerdas dan menarik. Sebanrnya dulu novel ini sanggup menyaingi kemelejitan Laskar Pelangi dengan sudut genre yang berbeda. Yah begitulah kalau ada dua yang hebat di era yang sama, pasti kehabatan yang satu akan tertutup oleh kehebatan yang satunya. Ok, novel ini sangat rekomandasi buat anda yang merasa pecinta novel fantasi. Bagi yang tidak, juga tetap saya sarankan. Tapi bagi anda yang tidak ingin gelisah karena menunggu novel sekuelnya yang masih akan berapa tahun lagi muncul. Sebaiknya urunkan niat Anda karena saya sendiri juga mati penasaran untuk menanti LEDGARD 2!

“Mas Yoga. Mrrr. Mana novel keduanya?”

*Ada penulis dengan nama GD.Yoga, novelnya judulnya Lencana kalau nggak salah. Apakah GD. Yoga kepanjangan dari Ganjar Dzakka Yoga? Oh …hehehehe!

Yogyakarta, 18 Desember 2010

05:55 WIB

Jumat, 10 Desember 2010

PDKT angkatan XII

PDKT angkatan XII 1st Day

Sabtu,04 Desember 2010

Sebenarnya semuanya sudah saya cicil sejak sekian hari sebelum hari ini. Modul sudah saya copy sejak rabu. Hanya saja kesibukan kuliah ikut menghambat beberapa hal untuk diselasaikan. Saya sudah membereskan semua hal dengan perubahan yang dianggap perlu. Fatma patner yang selalu melengkapi setiap kelalaianku berualang kali menanyai satu persatu hal yang sudah tersedia atau belum. Dan selalu jawabanku sudah. Padahal sesungguhnya masih sedang saya kerjakan. Tapi saya tidak suka kalau saya sedang melakukan sesuatu kemudian diganggu orang lain. Maka saya menjadwal semuanya. Jam segini saya harus sudah selesai ini, jam segini harus selesai itu.

Saya itu orangnya ingin semuanya cepet dan benar. Saya tidak bermaksud menisbatkan bahwa saya seorang perfeksionis hanya saja saya tidak suka keletoian. Rasanya gemes aja, pengen langsung menghandel. Akhirnya itu semua membuat saya memback-up kesemuanya. Dan dalam bayanganku semua anak CWC sedang asyik dengan dunianya masing-masing. Bahhh!!!

Gara-gara seseorang yang tidak sama sekali saya sukai peringainya yang suka memerintah dan komen gak penting. Nafsu hidupku meredup. Amarahku meletup. Beberapa orang terkena dampak yang tak patut diterima. Untungnya mereka tak merasa kena semeburan mautku. Alhamdulillah. Untung juga Rara tak ikut, kalau ikut mungkin saja dia tak akan luput dari semburan berbisaku. Kemudian air mata akan membanjiri. Dengan polos dia akan berkata “ Aku tuh nggak berguna banget ya?”. Hahaha, saya suka kasian. Tapi galak sudah bawaan orok Ra. Jadi kamu harus lebih membiasakannya. Kan saya sudah menjadi senpaimu(red. Kakak angakatan dalam perguruan perLebay-an). Motto kita adalah “Kami nggak lebay, Lebay hanya tuntutan peran.”

Fatma di ruang laboratorium masih saja memastikan satu hal demi satu hal. Saya bilang beres. Untuk kali memang saya menyelesaikannya semua.

Sampai di TKP saya duduk sejenak. Sibuk memfoto kesana kemari. Pada akhirnya saya bosan. Tempatnya kadang suka bau teletong(Red. Kotoran sapi). Saya sedikit tak nyaman dengan itu. Mau sejenak merehat diri juga kemana. Ini kan Cuma daerah perkampungan biasa. Yang ada cuma akan menambah jengahku. Ke kali sebelah tempat PDKT. Kuakui itu ide buruk. Kalinya itu ya cuma kali kecil yang mengalir kecil juga. Membaca Dek Sophie juga sedikit kurang bisa konsen karena keributan peserta atau panitia yang berlalu lalang.

Cukup terhibur dengan pensi. Saya suka dengan acting-akting mereka. Tapi kalau dibandingkan dengan kelompok dramaku waktu up-grading sepertinya tak ada apa-apanya. Ada yang ide kreatif nan lebay. Cukup mengocok perut karena tingkah wahyu sagalagala(bener itu namanya?) yang jadi pembawa acara. Terpukau dengan Mas Gerry dengan penghayatan membaca puisinya. Puisi sedih yang jauh lebih terlihat menyeramkan.

Istana impian itu harusnya ada deru tangis. Suasana hening dan gelap akan mengautkan semuanya. Untuk angkatan 12 itu tak berlaku. Semua nyaman-nyaman saja dengan rasa ngantuknya. Saya juga nyaman bersandar pada tembok. Semua tampak begitu datar.

Waktu tukar kado, saya sangat amat terkejut. Saya mendapatkan sebuah kado berupa buku dengan sampul sekelompok anak muda yang bertelanjang dada sedang memegang alat kelamin. Dan dua gambar yang tak jelas maknanya. Saya beristighfar sebanyak-banyaknya.

Kurang lebih tuntutan agar saya menjadi jaim karena besoknya akan mengisi empatik adalah sesuatu yang menjengkelkan. Melelahkan. Saya kadang suka capek sendiri harus diam dan terlihat berwibawa.

PDKT angkatan XII 2nd Day

CWC sudah menyita dua akhir pekanku untuk hari ini. Kami para trainer pemula ini (Aku, Helmi dan Ana) harus berlatih kemampuan public speaking di SMAN 1 Teladan Yogyakarta dan SMA 8 Yogyakarta.

Sesi satu kurang lebih sama seperti dua latihan yang kami lalui. Derai haru mengisi ruangan itu. Hanya saja peserta terlalu tertutup. Menyembunyikan pengalaman menyedihkannya dibalik kalimat-kalimat bias. Akhirnya saat pembacaan susah untuk berempati saat mendengarkannya.

Tapi yang lucu adalah ceritanya fatma sebagai berikut:

Pada hari itu, aku mempunyai gelar kehormatan yang akan aku sematkan pada diriku sendiri...

Kisah ini bermula pada hari ahad, yang seharusnya aku menonton doraemon dan sinchan, kini justru berhadapan dengan kurang lebih 20-an mahasiswa/i yang mengikuti pelatihan menulis. Aku kebetulan mendapat tugas menjadi co-trainer, yang bisa diartikan 'pembantu' trainer atau sekedar fasilitator yang mengantarkan timing penyampaian materi dari satu trainer ke trainer yang lain.

Pada saat itu, materi yang disampaikan adalah tentang bagaimana kita bisa menulis dengan jujur, layaknya anak-anak. Suasana dibangun, peserta training dipersilahkan duduk nyaman dan dibuat mengingat masa lalunya, kemudian dipersilahkan menulis masa tersakit dalam hidupnya di kertas biru yang telah kami persiapkan. Penciptaan suasana di-per-'parah' dengan alunan nada sedih yang berdendang lewat speaker laptop panitia.

Tak butuh waktu banyak, 5 menit setelah trainer mempersilahkan peserta untuk menulis, ada sesosok perempuan yang menangis paling menyakitkan diantara yang lain, kita sebut saja dia Mawar. Karena desakan dan tuntutan profesi, maka aku harus turun tangan untuk menenangkan Mawar, agar tidak terlalu 'meratapi' nasib, atau minimal tidak mengganggu peserta lain untuk menulis.

Sebelum merangkulnya, aku sekilas membaca tulisan Mawar, agar aku bisa menenangkan dia tanpa harus bertanya kepadanya, apa yang ia tangisi. Disana tertulis, "Ibu selalu ada di benakku... Ibu ------.... Ibu ------... dst, dsb, etc"...

Aku tersentak, dan entah mengapa aku ingin ikut menangis. Aku teringat pada ibuku. Aku beruntung ibuku masih ada, aku sangat beruntung.

Kemudian aku merangkulnya, dan aku berkata bijak,

"Tenang saja... Allah pasti ganti... Allah itu tidak pernah jahat... Allah pasti punya gantinya... Ya?" dan dia mengangguk sambil sesenggukan, badannya terguncang.

"Allah itu sayang banget sama ibu kamu..." dia kembali mengangguk.

Aku meneruskan,

"Allah sangat sayang pada ibu kamu, makanya Allah tidak ingin lama-lama jauh dari ibu kamu, Allah udah kangen... makanya Allah pengen cepet-cepet ketemu ibu kamu, itu semua karna Allah sayang banget sama ibu kamu...".

Mawar terdiam sejenak sambil terus sesenggukan, tak ada anggukan darinya. Tiba-tiba dia menoleh dan berkata padaku,

"Mbak, ibu saya belum meninggal..."

Astaghfirullah, MasyaAllah... Dan detik itu juga aku tak tau apa yang harus ku katakan padanya...

Beberapa detik setelah aku bisa menguasai diri, aku merutuki diriku dengan gelar kehormatan, "Sok Tau"...

Mawar, maafkan aku ya...

Sesi dua. Saya yang mengisi. Saya merasa sudah sangat menghibur. Menggunakan kekuatan penuh. Lawakan – lawakan sudah saya luncurkan. Tapi mereka hanya diam. Tak tertawa. Krik…krik…krik. Dan untuk pertama kalinya aku medapatkan simpati di lembar evaluasi karena merasa kasihan pada saya. Tapi beberapa bilang saya garing. Oh serasa hantu ( hancur hatiku).

Pada sesi saya juga terjadi kekacauan besar, Saat harusnya peserta membacakan hasil diskusi dari gambar. (ingat hanya membacakan!). Malah mereka pensi. Ini angkatan, eksis banget ya? Kayaknya mereka memaksimalkan setiap kesemapatan untuk unujk gigi. Apapun itu harus terlihat eksis. Masak ada yang aking jadi reporter yang sedang membawakan berita, padahal saya cuma minta MEMBACAKAN!!!Ada yang begitu menghayati hasil diskusinya, serasa membaca dongeng. padahal saya cuma minta MEMBACAKAN!!! Wah, benar-benar dirusak sesi saya.

Yang membuat saya merasa berdosa lagi. saat menunggu peserta diskusi, saya melihat sebuah permen. Sambil nunggu saya ngemut tuh permen. Eh sampai beberapa menit permennye belum habis. Padahal sudah mempet waktunya. Akhirnya saya ngasih materi sambil ngemut permen. Hati ketraineran saya mulai berontak, ini nggak bener. Saya melepehnya ke tangan. Bodoh! itu menjijikan. Untungnya hanya beberapa yang melihat. Saya langsung menghambur keluar. Mecuekan penasaran peserta akan apa yang terjadi pada saya. Saat kembali saya masih saja nge-blank akibat kejadian permen tadi. Saya tidak sadar kalau ada peserta yang sudah mengacungkan tangan. hikmahnya permen haram saat Anda membawakan materi.

Sesi tiga lalu sesi habring. Sudah dan saya pulang. Membawa duka. Mebawa label baru. Mas garing! Sekalipun masih banyak yang bilang saya lucu, menarik dan keren (yang terakhir itu harapan pribadi).

Setelah SMA 1 YK, SMA 8 YK dan EMPATIK 1 saya mendapatkan beberapa julukan “Wisnu anak basket”, “Wi5nU C3L4lu 53nD1r1”, dst. Untuk SMA 8, saya benar-benar serius untuk mempertimbangkan membuat fans club. Secara saya keren gitoe loch!

Minggu, 05 Desember 2010

Amerika, Kebebasan yang Menakutkan


Impian Amerika

v+263-Bentang Pustaka dan Pustaka Republika

Cetakan kedua, Februari 2000

(Alm) Kuntowijoyo


Saya merampungkan novel ini sudah minggu lalu sebenarnya. Secara garis besar saya merasa begitu asyik dengan cerita di buku ini. Ceritanya tentang seorang pasangan suami dan istri yang tinggal di AS untuk melanjutkan sekolah. Tapi cerita ini tokohnya ada sebanyak 30 yang menghiasi setiap Babnya. Tokoh utama pasutri tadi berperan sebagai penyelesai masalah dari ketiga tokoh ynag ada disetiap bab. Novel ini di sebut sebagai novel “berbingkai”. Ya karena antar bab-nya dibuat berdiri sendiri. Satu cerita di bab selesai kita akan disambut cerita berbeda di bab berikutnya.

Dari mebaca buku ini saya semakin tau garis besar kondisi Amerika. Tak jauh –jauh, masih bergumul tentang Free sex, Alkohol dan Kapitalisme. Saya bilang itu kebobrokan. Tapi Amerika menganggap semua itu wajar-wajar saja. Naudzubillah!!!

Sekian cerita dalam novel ini berkisah tentang perubahan orang Indonesia yang awalnya orang-orang baik saja. Setelah tinggal di Amerika, arah mata angin di kompas sudah berpindah dari timur ke barat. Inilah yang saya sering saya katakan “Sebaik apapun kita, kalau sistem yang ada di sekitar kita buruk. Maka mudahlah kita berubah buruk pula.” Sebenarnya budaya-budaya barat yang begituan itu sudah meng-global. Hampir semua negara sudah terkontaminasi. Negara-negara timur yang katanya menjunjung tinggi norma juga sudah tak setinggi dulu dalam menjujung. Bahkan Negara-negara islam tak kalah parahnya. Sukses sekali negeri adi daya ini menjajakan produk budayanya keseluruh dunia. Selamat! Durjana!

Saya pernah mendangar cerita dari cerita teman saya. Teman dari teman saya itu melanjutkan kuliah di Amerika. Di sana teman dari teman saya itu tinggal homemate untuk menekan biaya yang serba mahal. Tinggal sekamar dengan seorang wanita berkebangsaan asing.

Pada suatu malam, teman bule dari teman, teman saya itu pulang dengan teman lelakinya. Memasukan teman lelakinya ke dalam kamar. Apa yang dilakukan remaja barat berlawanan jenis ketika berada di satu kamar? Huh, merinding. Dewasa! Sudah gitu, kata teman dari teman saya itu, pasangan bule itu melakukannya tanpa selimut. Sama sekali tak merasa sungkan dengan teman dari teman saya itu yang jelas-jelas berada di sebelahnya. Teman dari teman saya itu hanya sanggup menutup sekujur tubuhnya dengan selimut (kebalik ya?), menangis dan pura-pura tak mendangar desahan-desahan birahi. Saya tak berani membayangakan diri saya dalam posisi itu. Melihat orang yang berciuman bibir ke bibir saja saya sudah kalang kabut.

Masih tak lengkang waktu. Presiden negeri adi daya itu datang ke Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang tersihir hanya karena disentil oleh nama masakan khas Indonesia yang disebut. Mudah sekali digombali. Pantes saja sinetron di Indonesia mudah digandrungi. Terlepas dari pidato itu. Saya membatin ”Apakah Pak Obama itu juga melakukan layaknya remaja Amerika yang sulit sekali menjaga keperawanan dan keperjakaannya dimasa mudanya?”

Di Amerika itu, sistemnya yang edan. Sistem yang edan itu mencetak sosoilogi warga hingga sedemikan rupa. Ayolah! Bukan saatnya kita gandrung dengan hal semacam itu. Budaya kita lebih terhormat. Jadi tidak malu menggunakan pakaian senonok itu tidak terhormat!Camkan!!!

Semoga novel ini mengalirkan amal

jariyah tak pernah putus untuk

mendiang (Alm) Prof. kuntowijaya