Pages

Senin, 15 Februari 2010

Gua Berair


     Sebenarnya ini perjalanan yang sudah cukup lama, mungkin saat aku masih di semester 2 (sekarang aku sudah semester 4), seingatku juga acara ini di adakan sama Rohis Fakulutas Pertanian. Gak tau kenapa pengen mem-flasback perjalanan itu. Suatu saat pasti akan menjadi kenangan yang indah di hari dewasaku( tak ingin menyebut kata tua karena tak pernah ingin menjadi tua).
     Pesertanya tak terlalu banyak, kebanyakan pesertanya adalah cewek. Dan itu yang membuat kami dek-dekan setiap dalam perjalanan. Tau sendirikan cewek Rohis kayak gimana? Jilbab panjang dan rok yang menjuntai. Bismillah aja.
   Gua Cermai terletak di daerah Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Kalau dari UGM mungkin akan membutuhkan sekitar 45 menitan. Saat berangakat kupikir gua ini, ya seperti gua biasa dengan staklamit dan staklatit yang menghiasinya. Pas sampai, wonderfull!. Beda banget, ya memang sih staklamit dan staklatit masih jadi hiasan. Nilai bedanya adalah di dalam gua terggenangi dengan air.
  Dalam otakku sudah di penuhi keseruan tersendiri. Rasanya pasti akan seru. Benar saja perjalanan begitu seru. Kami datang waktu musim hujan yang membuat ketinggan airnya lebih tinggi. Jalannya yang berundak –undak menjadikan medan terasa semakin menantang. Bodohnya adalah kami tak membawa senter dan hanya mengandalkan santer dari guide yang kita sewa Cuma Rp 10.000,00. Alhasil hanya sanggu menikmati remang-remang keindahan gua. 
    Yah sudah bisa ditebak kalau para ceweknya akan menjadi kekhwatiran kami para cowok. Gimana gak rutenya kadang bisa jadi sangat ekstrim. Air bisa menggenang sampai dada. Ini pakai ukuran ketinggian tubuhku! Bagaimana dengan mereka? Mendekati ke pintu semakin parah aja. Staklamitnya dengan staklatitnya Cuma menyisakan sedikit ruang untu lewat. Belum di tambah dengan air yang menggenang dan kondisi yang gelap karena penerangan kami terbatas. Pokoknya tidak mudah! Selalu di selingi dengan terikan,awww!!
     Panjang gua ini sekitar 3 KM dan akan keluar ke pintu keluar di sebelah kebon pekarangan warga. Tapi katanya, ada pintu keluar satu lagi yang menuju langsung kepantai dengan kesulitan yang lebih tentunya. Yang tidak terbiasa, saranku sih siap-siap aja pergi ketukang urut karena bakal dempor tu kaki!?
    Cerita ngeselinnya saat sampai d pintu keluar gua, kami kaget. Ada beberapa orang masih belum keluar. Jangan-jangan tersesat, jangan-jangan diculik hantu, jangan-jangan dimakan buaya. Pikiran aneh-aneh itu menghanatui pikiranku. Panik! 15 menit berlalu, tapi meraka tak kunjung datang. Diputuskan untuk memilih tiga orang yang akan jadi tim penyelamat. Saat tim penyelamat itu masuk, eh peserta yang hilang keluar dengan tampang innocent. Gak tau apa kami mengkhawatirkan mereka? Setelah di usut mereka di dalam cuma memuasakan untuk berfoto-foto doang. Dasar!
    Btw, Heran juga tempat sekeren ini sangat susah untuk di jangakaunya. Jalan menuju ke tempat lokasi yang tak mungkin di lewati mobil. Jadi terpaksa harus berjalan kaki cukup jauh. Tempat parkir mobilnya pun harus numpang dirumah warga. Sayang banget, mungkin di dunia aja tak semua Negara memiliki yang kayak beginian. Harusnya lebih di manfaatkan lagi!


Minggu, 14 Februari 2010

Resiko Kontrakan Murah?


       Yah mungkin sudah jadi resiko kalau ngontrak dirumah dengan harga murah. Pasti ada saja penderitaan yang akan kita rasakan. Paling parah ya waktu hujan. Kalau musim kemarau sih gak terlalu karena kontrakanku berada di daerah pedesaan dan sebelah perumahan elite. Apalagi banyak pohon besar yang tumbuh dihalaman rumah. Jadi panas mah bukan masalah. 
      Beda banget kalau musim hujan. Bawaannya jengkel melulu. Lihat air menetes dari semua bagian sudut rumah. Dari ruang tamu, kamar-kamar, ruang istirahat, dapur sampai kamar mandi. Ini membuat kami tak bisa memasak di kontrakan, walaupun ada kompor sekalipun. Yang bikin emosi lagi kalau waktu mandi turun hujan. Serasa ada shower otomatisnya aja.
     Air yang menggenang di lantai juga bikin tambah jengkel. Gimana gak? Kan otomatis keadaan itu membuat kita harus ngepel setiap hari. Selain itu kontrakan jadi terkesan kumuh banget. Harus rajin-rajin nge-check barang-barang juga, siapa tau aja ada yang jadi korban. Aku sampai takut bayangin kalau waktu tidur, tiba-tiba kontrakanku rubuh. GEDUBRAK!!!Takut bayanginnya!?
     Kalau musim hujan juga sering terjadi pencemaran kamar mandi. Kran buat air mandi soalnya dapet bonus lumut hijau yang seger. Hiiiii, jijay banget. Malah aku pernah gak sengaja mendengar kalau kontrakan belakang kontrakanku pas lebih parah lagi. Di sana katanya sering muncul cacingnya. Oh noooo!!!
      Baru beberapa hari yang lalu saat ingin beli lemari baru, aku semakin tersadar kalau kamarku itu begitu sempit banget. Padahal kupikir barang-barangku tak terlalu banyak juga. Cuma ada dua rak buk, satu meja belajar+kursinya,  satu kursi  lagi dan satu kasur kecil. Udah itu doang. 
      Pohon besar dihalaman rumah, di satu sisi menguntungkan karena membuat teduh saat musim panas. Disisi lain itu juga membuat penderitaan tersendiri. Secara, kalau lagi rontok daunnya sering membuat bongkok badan ini karena harus menyapu setumpuk daun-daun kering yang jatuh plus buahnya. Memang tak bisa menafikkan kata pepatah yang bilang “ada harga ada barang”.
    Atleast, memang banyak derita yang harus dihadapi di kontrakanku. Tapi bagiku kontrakanku adalah istanaku. Banyak hal yang membuatku selalu merindukannya. Ketika kadang hati ini terasa penat, beristirahat di kontrakan juga bagian terapi yang yahut. Duduk di teras di sore hari sambil menyedu secangkir teh selalu membuatku merasa dama(walau kadang-kadan doang). Saat malam bisa membaca Al Qur’an di teras juga jadi bagian memoriku yang tak akan sanggup kulupakan. Canda tawa, ketenangan, perhatian dan kasih sayang juga hal biasa yang kurasakan di kontrakanku. 


Bukan Orang Tuaku



     Ini kejadian kemarin, saat aku disuruh menjadi MC di acara Launching SMC (Sanggar Menulis Cahaya). Awalnya aku merasa gugup karena aku tak biasa tampil di depan umum dengan keadaan seformal ini. Bukan gue bangetlah! Harus bicara hati-hati, berusaha sesopan mungkin tapi di tuntut menarik. Susah je! 
     Di awal-awal aku grogi abis, sampai menyebut nama bu afi aja sampai lupa. Memalukan. Tapi harus tetap tenang dan menguasai diri. Sebenarnya bukan di bagian ini yang ingin kuceritakan. Namun, waktu orang tua murid mulai berkenalan. Mereka mengusulkan sendiri ingin saling berkenalan. Bilangnya sih, iri sama anak-anaknya yang ada di kelas sebelah.
     Mulailah mereka memperkenalkan diri. Mengenalkan namanya, mengenalkan nama anaknya, dst. Nah, saat bercerita itulah yang membuatku terharu dan salut. Mereka bercerita panjang lebar tentang anaknya. Bagaimana mereka selama ini tau bakat anaknya yang suka menulis. Ada yang bilang kalau anaknya selalu memberikan sebuah puisi saat hari ibu. Ada yang setiap hari. Ada yang malah tidak tau sama sekali kalau anaknya suka menulis. Hem, letak istimewanya menurutku adalah bagaimana mereka bercerita. Tulus. Seolah anaknya pahlawannya. Dalam setiap cerita mereka tersirat sebuah makna yang indah dan tak bersyarat. Kalau aku mengatakan, “ Apapun  kulakukan buat kebahagian anakku”. Terharu banget.
      Ada orang tua yang sudah sepuh, tapi tetap semangat datang. Ketika beliau bercerita, aku sempat merinding. Mengingatkanku akan orang tuaku. Akan perjuangan mereka. Satu lagi yang menginspirasiku adalah saat seorang kepala sekolah bercerita tentang muridnya yang beliau wakilkan. Muridnya itu hanya seorang anak pengulung. Tapi orang tuanya berusaha agar anaknya tetap bisa mengikuti sanggar ini. Di balik semua keterbatasan. Membuncah sebuah perjuangan yang teguh. Walau bukan orang tuaku, tapi aku bisa merasakan semua itu.
       Rasanya kalau membicarakan orang tua memang tak akan ada habisnya. Kita yang akan lelah sendiri saat bercerita. Bahkan untuk bercerita satu saja sisi baik dari mereka, butuh untaian yang panjang. Kasih mereka memang sepanjang masa. Hanya memberi tak pernah berharap kembali. Kita kadang melupakan mereka, mudah sekali. Padahal bukan sesuatu yang besar yang meraka inginkan. Sesuatu yang kecil saja sudah membahagiakan mereka. Bahkan lupakah kita? Sebenarnya perjuangan yang mereka lakukan hanya untuk kebahagian kita. Ah sudahlah semua tentang mereka memang selalu menarik!


Sabtu, 13 Februari 2010

The great Queen of Seondeok Final Episode















Untuk memudahkan mebaca silahkan download atau membeli kasetnya atau mengemis ke Indosiar buat diputar ulang.hehehe
Saya hanya akan membuat cerita untuk final episode-nya doang. Jadi di episode terakhir itu, bi dam sudah tau kalau dia di tipu oleh kroni-kroninya. Pengawal istana yang disangka membunuhnya atas perintah Yang Mulia Ratu ternyata hanya suruhan dari kroni-kroninya. Alhasil bidam shock setengah mati. Merasa ditipu habis-habisan.
Nah, diepisode ini bener-bener klimaksnya. Yah, mungkin selama ini memang bi dam menjadi tokoh yang terkesan jahat. Apalagi episode-episode sebelumnya yang menunjukan kelicikan bi dam dalam menjebloskan Kim Yu shin. Tapi benar-benar di episode ini semua seolah dibalik. Sosok bi dam jadi sosok yang patut dikasihani -kalau menurutku-. Dia harus menanggung apa yang seharusnya tidak dia inginkan.
klimaks dimulai adalah saat bi dam dan santa akhirnya berpisah. Kemudian santa di panah oleh prajurit yang mulia ratu. Peh kasihan banget santa, masak harus mati dengan cara tragis seperti itu. Aku kasihan berat pas adegan itu.
Adegan berikutnya bi dam menolak untuk menyerah dan berjuang hingga titik darah pengahabisan melawan semua pasukan Yang Mulia Ratu untuk menemui Yang Mulia Ratu. Barisan pertama ditembus, kedua , ketiga bahkan bi dam berhasil menipu Kim Yu Shin. Yang membuatku termehek lagi adalah bi dam menghitung kurang berapa langkah menuju yang mulia ratu. Aduh, aku merinding. Barisan berikutnya adalah para pemimpin hwuarang. Bi dam mulai kualahan, tangannya tersayat pedang salah satu dari pemimipin hwarang tersebut. Tapi bidam berhasi menembus pertahanan tersebut. Dan terus menghitung berapa langkah lagi menuju Yang Mulia Ratu.
Akhirnya pasukan pemanah tiba, ini aku mulai menangis. Bebarapa panah mulai dilesatkan. Busur yang dilesatkan di awal berhasil di tangkis. Namun itu tak berlangsung lama. Akhirnya bi dam terpanah. Satu, dua, tiga. Tapi bi dam masih terus maju dan terus mneghitung berapa langkah lagi. Yang terakhir pedang Kim Yu Shin dan Alcheon tak mungkin dihadapi oleh bi dam. Darah keluar dari mulutnya. Kemudian dia berkata Deok Man tiga kali dengan sangat lirih hingga Yang Mulia Ratu tak mendegarnya( Yang Mulia Ratu akhirnya tau karena diberitahu Kim Yu Shin di adegan setela ini). Yang Mulia Ratu hanya bisa menangis melihat itu semua. Menekan semua perasaannya agar tidak terlihat semua orang. Bener-bener membunuh perasaan pribadinya. Saat berpidato(hah aku gak betah nontonnya). Akhirnya Deok Man jatuh di depan bi dam.
Sumpret, aku nangis bin gak tega banget. Kim Yu Shin yang selama ini terlihat baik jadi seperti orang tak berperasaan. Semua seolah dibolak-balik. Semua pengikut mi shil juga berhasil ditangkap.
Adegan terakhir adalah Kim Yu Shin dan Alcheon bertemu saat mereka sudah menua. Kemudian ingatan Kim Yu Shin kembali ke masa dimana ia berbicara terakhir kalinya dengan Yang Mulia Ratu. Saat Yang Mulia Ratu menceritakan siapa wanita yang memeluknya sambil menangis dalam diam tersebut adalah dirinya saat sudah menjadi Ratu. Saat sosok Yang Mulia Ratu mulai berbicara akan masa depan Deok Man akan masa depannya. Aku merasa kasihan sekali, kasihan sekali, kasihan sekali, kasihan sekali, pokoknya kasihan sekali. Akhirnya Yang Mulia Ratu dengan tetesan air mata setelah bercerita itu meninggal dunia. Dan cerita berakhir.
Entah kenapa bahkan hari ini, episode terakhir masih temerngiang-ngiang dalam ingatanku, bahkan terbawa mimpi. Aku tak tau waktu adegan yang mana atau malah semua adegan. Aku sungguh di hantui episode terakhir ini. Cerita ini hampir sama dengan Jewel in The Place (secara penulisnya sama) yang menumbuhakan semangatku dalam berjuang dan berbagi macam peajaran yang berharga. Selain karena bisa membuatku menangis saat menontonya. hehehehe


Magetan, kota sangat kecil yang menarik


       Magetan terletak di Jawa Timur. Kota sangat kecil ini terletak di daerah pegunungan. Pantaslah kalau daerahnya begitu dingin. Dinginnya khas daerah pegununganlah. Jalanya yang meliak-meliuk juga menarik menurutku. Diselingi pemandangan yang masih hijau banget.
    Aku kesana naik motor dari Jogja bersama temanku. Seru abis perjalananya. Perjalanannya menempuh waktu kurang lebih 3 jam-an dari Jogja. Berhubung aku berangkat sore-an, jadi sampai magetan sudah menjelang malam. Ih serem banget, daerahnya begitu curam. Sedikit banget kendaraan yang lewat. Sudah gitu kabutnya tebal banget, jarak pandag motor kami kira-kira hanya 1 meter-an doang. Udara dinginnya yang menusuk ke tulang juga jadi siksaan bagiku.
Telaga sarangan yang menawan
        Kupikir telaga itu seperti apa? Apa seperti pantai, atau danau, atau waduk, atau malah seperti kolam renang?hehehe. tak dinanya waktu sampai disana aku semakin bingung menyamakannya dengan yang mana. Intinya sih telaga ya telaga.
        Kalau dari rumah temanku menuju telaga sarangan membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Tapi istimewanya saat berangkat dari rumah temanku adalah jalannya yang bener-bener hijau, naik turun dan keren banget. Aku jadi kepikiran bikin villa untuk hari tuaku disana.hehehe
        Telaga Sarangan terletak di kaki Gunung Lawu, di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Berjarak sekitar 16 kilometer arah barat kota Magetan. Telaga ini luasnya sekitar 30 hektar dan kedalamnya mencapai 28 meter. Dengan suhu udara antara 18 hingga 25 derajat Celsius.
      Hal yang menjadi daya tarik tapi jadi hal yang kubenci adalah banyak banget kera liar yang bergelantungan disekitar daerah sana. Cara memancing kera turun juga gampang banget. Tinggal beli kacang yang bisa dibeli di mbok-mbok penjual kacang gendong seharga Rp 1000,- sampai diborong sekeranjang juga boleh. Nah kacangnnya tinggal dilempar aja, pasti mereka berdatangan. Biasanya yang datang pertama adalah kera-kera yang besar.( kalau dimata saya, mereka terlihat ganas dan siap memangsa kita). Selanjutnya kalau mereka merasa aman, kera-kera yang lain bakal berdatangan. Di tengah telaga ada seperti pulau kecil banget, yang konon katanya disana sarang lebih banyak kera lagi. 
     Telaga Sarangan bisa dibilang obyek wisata andalan Magetan. Di sekeliling telaga terdapat dua hotel berbintang, 43 hotel kelas melati, dan 18 pondok wisata dan puluhan kios cendera mata. Kalau mau merogoh kocek sedikit, kita bisa mengiatari telaga dengan kuda atau mengendarai kapal cepat atau juga dengan becak air. Katanya sih disana makanan yang paling khas yang dijajakan di sekitar telaga adalah sate kelinci. Karena aku berangkat kepagian, jadi aku gak sempat mencicipinya.
     Telaga Sarangan tak ubahnya seperti daerah pariwiasata di Indonesia lainnya yang budaya adatnya masih kental. Misitis. Seperti labuh sesaji pada Jumat Pon bulan Ruwah dan Ledug Sura 1 Muharram. Sepertinya upacara-upacara ini tak jauh beda dengan ritual-ritul di tempat lain di Jawa.

Kota sepatu
   
    Di magetan juga terkenal dengan kerajinan sepatnya. Pemerintah setempat juga sedang gencar-gencarnya menghidupkan idustri sepatu disana. Soalnya disana industri penjualan sepatu begitu tumbuh. Di setiap pinggiran kota ada yang jualan sepatu khas magetan. Harganya sih cenderug murah. Jadi kalau disana mau membeli oleh-oleh sepertinya ya sepatu khas magetan itu. Walau pun kalau menerutku   sepatunya sama aja d daerah lain, yang membuat beda adalah kita membelinya di Magetan. Dan akankah magetan jadi kota sepatu?hehehe


Surabaya Membuatku Bersyukur


        Aku lupa terakhir kesana kapan? Seingatku sih pas SD. Itu pun hanya di Kebon Binatang doang. Entah niatan apa yang membuatku kemarin memutuskan untuk pergi ke Surabaya lagi? Mungkin karena teman-teman dekatku banyak yang kuliah di sana ya. Jadi jalan-jalan berkedok silaturahim, atau sebaliknyanya ya?
        Sejak kuliah di Jogja, kupikir Jogja panasnya dua kali lipat dari Kediri( kalau ada yang gak tau, Kediri itu kota kecil di propinsi Jawa Timur). Panasnya beda. Kalau Kediri cuma panas doing, tapi kalau Jogja panasnya nyengat kulit. Sudah gitu Jogja merupakan daerah dengan kelembaban yang cukup tinggi. Jadi keringatnya sulit kering, itu yang membuat kulit hitam. Walau aku tak terlalu banyak menemui orang Jogja berkulit gelap. Kalau ada pun mungkin itu pendatang. 
        Bisa bayangkan panasnya Jogja kan? Tapi di Surabaya panasnya satu setengah kali lipat dari Jogja. Panasnya itu beda, panasnya terkesan lengket dikulit. Bawaannya pengen mandi terus. Anehnya mandi bukan merupakan solusi karena air di Surabaya adalah air pantai yang lengket di kulit. Alhasil mandi malah akan melipatgandakan siksaan yang harus dihadapi(ini bagi rumah yang tak menggunakan air PDAM ya!). Aku menjadi tak terlalu heran kalau kamar temen-temenku penuh oleh kipas angin. 
       
Mungkin itu juga yang membuat Surabaya itu salah satu kota di Jawa yang memiliki logat paling kasar( bukan bermaksud rasis ya!!). Aku cukup tak terbiasa mendengar logat khas mereka dengan bahasa jawa yang kasar banget. Rasanya telingaku benar-benar panas dengan semua itu. Namun sebenarnya orang-orang disana ramah-ramah. 180° berbeda jauh dengan cara mereka ngomong.
    Waktu diajak berkeliling aku cukup tertegun menatap gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi( kelihatan ndeso banget.hehehe). Hal itu menjadi wajar mengingat bahwa Surabaya adalah kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Tapi tetap bagiku itu hal yang luar biasa. Mall terbesar di Jogja besarnya hanya seperempat besarnya dibanding Mall di Surabaya. Sudah gitu jaraknya deket-deket. Ah, semakin menunjukkan ke katrokanku.hehehe
        
       Disana aku bingung mau jalan-jalan kemana waktu di sana. Pantai kenjeran? Huh, pantainya kumuh banget. Mall? Ini mah bukan aku banget. Kebon binatang? Kok rasanya males banget ya, kecuali besok kalau aku sudah punya anak.hehehe. Ya…ya…ya akhirnya hanya berkutat di kos-kosan temen-temenku. Berkunjung dari satu kos ke kos yang lain. Begitu seterusnya. Menghemat juga sih, secara apa-apa disana lumuyan mahal untuk kantongku.

Masa Lalu


Perpustakaan UGM, Desember 2150
Setelah memarkir sun racer ku di tempat parkir. Di sebelah kanan perpustakaan. Aku mengaktifkan tombol on pada belakang sun racer kepunyaanku. Agar kendaraan itu mengumpulkan energi matahari yang akan disimpan menjadi sebuah energi untuk menggerakan sun racerku kembali. Kau taulah di zamanku sekarang. Mana mungkin kami bisa menikmati adegan dimana kami mengantri untuk mendapatkan bahan bakar seperti di zaman kalian. Hal seperti itu sudah ikut punah mengiringi laju perubahan dunia ini juga. Selaras. Namun sebenarnya sudah menjadi prediksi yang mudah.
Di depan pintu perpustakaan. Aku menunggu sejenak. Membiarkan alat dectetor menganalisa ID card ku.
“ Derka. Fakultas Sejarah. Sejarah Bumi. 61751872 64906249.” Kemudian pintu itu terbuka. Mempersilahkan ku masuk.
***
Sampai di selasar aku menonaktifkan tombol off pada jam tanganku. Yang secara otomatis akan mematikan selubung pelindung di seluruh tubuhku. Di zaman kami, kalau tak ingin mati konyol karena mati terpanggang panasnya matahari. Maka alat ini menjadi alat yang wajib dikenakan. Maklumlah orang –orang dizaman kalian menebang pohon tanpa peduli akan akibatnya. Yang membuat akhirnya bumi mulai beraksi. Marah. Balas dendam kalau versiku. Laipson ozon di ijinkan untuk menjadi sangat tipis. Hingga hanya tinggal beberapa makhluk hidup yang sanggup hidup. Manusia salah satunya makhluk itu. Manusia masih mampu bertahan hanya karena kecerdasanya. Dia membuat alat ini untuk menangkal kondisi menyulitkan ini. sebagai contoh dari kecerdasan itu.
Aku menghampiri petugas administrasi yang menyambutku dengan seulas senyum ramah. Aku memabalasnya. Aku menjawab semua pertanyaan formalitasnya. Seperti biasa. Dia wanita yang cukup cantik menuruku. Tubuh tinggi semampai. Alisnya tebal, alis matanya lentik. Paras wajah yang khas asia membuatnya istimewa di mataku. Di sampingnya ada robot berbentuk kucing berwarna biru yang menemaninya. Dia meloncat-loncat. Aku mengelus robot kucing itu. Seketika robot kucing menubrukku. Dia tak memberiku waktu untukku menghindar. Aku hanya tersenyum. Aku meilhat sekilas petugas tadi juga ikut tersenyum.
***
Sekarang aku harus fokus untuk mencari apa yang aku cari. Tempat yang aku tuju sudah tak terlalu jauh. Aku bergegas. Aku berusaha berjalan mempercepat langkahku. Sudah cepat menurut hitungan matematis otakku.
Hanya menunggu hitungan detik aku sudah sampai tempat yang aku tuju. Tempat universitas ini menyimpan semua buku. Aku tak pernah tau jumlah pastinya. Mungkin ribuan. Mungkin pula jutaan. Atau lebih dari kedua kemungkinan tadi. Tak terlalu menarik mengetahuinya. Sekarang cukuplah dengan kata-kata sangat banyak untuk mewakili jumlah itu.
Ruangan ini begitu luas. Suhu udara di rauangan ini mencapai – 20 ° C. tapi masih terasa cukup panas menururku. Semua yang ada di sini berbentuk digital. Tiga foto besar di sebelah kanan sudut ruangan ini menggambarkan tentang UGM. Foto di tengah menurut ruangan ini adalah foto presiden dan wakil presiden. Di bawahnya ada gambar garuda. Empat layar proyektor TV di pasang di empat sudut ruangan ini. Satu layar proyektor dengan ukuran yang besar adalah database dari semua buku yang tersimpan di Perpustakaan ini. maka tak ada buku yang terbuat dari kertas. Kami hanya bisa melihat buku kertas jiika kami mengunjungi museum.
Aku melangkah menuju layar proyektor besar.
Aku merogoh sakuku untuk mencari catatan di PDA tentang judul buku dan pengarang yang aku cari. Tanganku merogoh-rogoh di setiap sudut saku celana. Ternyata tanganku tak menemukan yang aku cari. Sekarang tanganku berpindah menggeledah seluruh isi tasku. Hasilnya masih sama. Nihil. Mungkin ketinggalan di rumah.
“Sudahalah…” aku berkata lirih.
Aku mengetikkan key word dari buku yang aku cari. Seingat memoriku menyimpannya. Ribuan judul buku muncul. Aku menelan ludah.
“ ah…terlalu banyak” batinku.
Aku mencoba menspesifikkan key wordnya. Sedikit berkurang. Tapi tak terlalu membantu. Masih terlalu banyak
Aku sedikit putus asa. Aku memutuskan untuk mecari tempat duduk. Mengingatnya dengan cara ternyaman. Mungkin itu akan membantu, pikirku.
Dua orang ternyata sedari tadi sudah menunggu di belakangku untuk mengantri. Sedikit merasa tidak enak. Aku melunasinya rasa ketidak enakanku dengan seutas senyum.
***
Kusandarkan tubuhku ke bagian atas kuris warna coklat ini. Aku menaruh tasku ke meja di depan kursi. Aku membuka resleting tasku, mencari sesuatu. Ku rogoh bagian atas tasku. Tanganku mulai meraihnya. Ini pil pengenyang. Kami menyebutnya demikian. Sekarang kami tak perlu serepot dulu yang harus makan dalam jumlah banyak untuk menjadi kenyang. Cukup dengan pil ini 2-3 hari kami tak akan merasa lapar. Di zaman ini tak mungkin bagi kami untuk memakan makanan yang alami. Tadi sudah ku bilang. Sudah tak ada yang di wariskan oleh generasi dahulu. Satu-satunya warisan adalah segela keterbatasan ini.
Aku mulai mengingat buku itu. Tak terlalu lengkap. Mendekati lengkap mungkin kata yang lebih cocok. Segera tubuhku bangkit menuju tempat layar proyektor database tadi.
Kumasukkan key word lagi. Sekarang hanya menyisakkan 10 buku yang sesuai dengan key wordku. ku masukkan flasdiskku. Untuk memindahakan 10 buku tadi.
“ selesai juga…”.
Aku kembali ketempat duduk yang tadi. Aku menyalakan notebookku. Memencet layar touchscreen notebooku. Memasukkan data dari 10 buku tadi ke dalam notebookku. Memindahkannya. Mencari dan memilah buku yang mana. Buku pertama, bukan. Buku kedua, juga buka. Buku keempat, kelima dan keenam, juga bukan. Berpindah ke buku ketujuh.
“ Nah ini dia. BUMI MASA LALU”.
***
Kuputuskan Melihat daftar isinya terlebih dahulu. Mencari bab yang mengulas data yang aku butuhkan. Kutumekan data yang kubutuhkan ada di Bab V. Sekitar 200 halaman.
Aku mulai membukanya.
Halaman-halaman awal membahas tentang bunga. Berbagai macam jenis bunga dengan penjelasan singkatnya. Indah. Bukan indah , tapi sangat Indah.
Aku melihat bunga matahari. Mebaca penjelasan tentangnya. Bunga ini adalah bunga yang seolah-olah replika matahari. Bergerak mengikuti matahari. Ketika matahari terbit dari timur, bunga ini mengahadap ke timur. Ketika matahari tenggelam bunga ini pun menjadi layu.
Andaikan kakek buyutku tak pernah serakah. Sedikit saja merasa peduli dengan alam. Peduli terhadap kami, generasi penerusnya. Mungkin saat ini aku masih bisa melihat bunga mtahari. Menikmati segala macam keindahan alam. Aku menghela nafas dalam.
Halaman berikutnya juga msih membahas mengenai berbagai macam bunga. Bunga tulip, bunga mawar, bunga melati, bunga lili, bunga kamboja, bunga raflesia, dst. Halaman demi halaman kubuka. Ada rasa kesal, ada rasa ingin tau yang besar dan ada pengaharapan.
Sampai pada halaman tentang hewan yang pernah ada di muka bumi. Aku membukanya, membacanya, menelaah satu persatu. Aku berhenti pada halaman yang bercerita tentang Panda. Hewan yang sungguh lucu pikirku. Memiliki bulu yang mengabungkan perpaduan WARNA hitam dan putih. Bulunya begitu tebal. Tubuhnya tambun. Mata yang lucu. Binatang yang benar-benar lucu.
Setelah puas dengan halaman-halaman di bab Sejarah Makhluk Hidup di Bumi. Aku berpaling ke bab selanjutnya. Bab tentang Kehancuran dan Keserakahan. Bab yang paling kuhindari sebenarnya. Tapi terpaksa harus ku buka dan kuperdalami. Apaboleh buat, tugasku kali ini berhubungan dengan hal itu.
Aku mulai membaca tiap kata dalam kalimat dalam pargraf. Tak ada yang ingin aku lewatkan. Halaman yang satu berganti ke halaman berikutnya. Aku terus menyimak. Kadang ada sentakan emosi ketika membaca. Banyak hal yang terlalu mengerikan. Kejam.
Kecurangan, kemunafikkan, kekejaman seolah menjadi topeng manusia pada zaman itu. Seperti sebuah interpretasi keberadaan setan dalam diri setiap manusia. Dalam perang seolah tak ada kata belas kasihan. Tak paham arti mengasihi. Iba. Yang ada hanya bagaimana mengahncurkan. Mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Kekuasaan. Mereka tak terlalu peduli akan korban meraka. Anak-anak yang masih tak mungkin untuk melawan menjadi korban kebiadapan itu. Wanita yang secara kodrat untuk dilindungi di tuntut harus ikut terlibat melawan. Lansia yang sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu untuk merasakan kehidupan keabadian, juga tak mampu menghindar dari amukan kekejaman manusia.
Manusia memborbardir semua tempat. Rumah sakit, sekolah dan bangunan lain yang begitu penting dalam sendi manusia harus hancur luluh lantah. Tak peduli akan masa depan. Kaum pengacau yang beringas terus melakukan itu. Satu pihak kalah berpindah kepihak lain untuk ditaklukkan. Terus berlangsung bagai alur sebuah cerita yang tak pernah ada endingnya. Mereka tak pernah sadar akan apa yang harus mereka pertanggungjawabkan. Karena meraka akan tak meresakan karma itu. Tapi kami di zaman ini yang harus menanggung semua pertanggung jawaban itu. Merasakan setiap lapisan karma itu.
Aku menyandarkan kepalaku di kursi. Aku menghela nafas panjang. Air mataku menetes. Sesenggukan. Banyak andai-andai diotakku. Andai dulu seprti ini pasti sekarang seperti ini. Andai ini, andai itu, andai, andai dan andai. Menyesali ini dan itu. Kecewa. Aku menghela nafas panjang lagi untuk menstabilkan emosiku.
Buku ini kemudian bercerita tentang jamur, bakteri, virus. Yang jumlahnya sangat banyak. Aku mebuka halaman demi halaman. Setiap halaman yang ku buka aku seperti tertarik medan magnet yang mengirimku ke masa lampau. Masa lampau yang telah disia-siakan. Masa lampau yang duhuni oleh manusia yang diperbudak oleh keserakahan.
Jam tanganku berbunyi. Sengaja kupasang alarm untuk mengingatkanku akan agenda ku berikutnya. Aku menutup notebookku. Ku masukkan dalam tasku. Tubuhku bangkit dari kursi dan aku melangkah keluar perpustakaan. Mengakhiri perandai-andaianku tadi.
***
Sepuluh tahun berikutnya, waktu perubahan yang menentukan…
Semua orang sudah siap berada di luar rumah mereka. Ada yang berada di jalan, ada yang di depan kampus, ada yang di depan kantor. Intinya semua sudah siap untuk memulai sebuah awal dari perubahan besar. Perubahan yang selama ini diharapkan.diimpikan.
Kami menunggu aba-aba yang serentak di seluruh penjuru dunia. Kami akan serentak menanam tanaman perubahan. Kami menyebutnyan demikian. Karena tanaman ini ditemukan dengan perjuangan yang tak mudah. Tanaman yang sudah ditunggu semua orang sekian lama. Tanaman ini adalah tanaman yang berhasil dihasilkan oleh semua penemu dari semua negara di dunia. Tanaman yang akan menghijaukan bumi ini lagi. Membuatnya tersenyum kembali. Satu hasil penelitian berganti dengan penelitian yang lain. Tak satupun yang berasil. Sekarang kami akan mencoba lagi. Gagal atau berhasil hanya dua pilihan itu yang ada. Namun kami tak akan pernah lelah. di otak kami ketika satu penemuan muncul adalah awal perubahan. Awal akan terciptanya harapan-harapan kami.
lolongan bunyi yang panjang dan keras. Serentak di seluruh penjuru dunia. Pertanda bahwa semua sudah siap. Siap untuk menanam perubahan. Perubahan yang lebih baik.

071209.10.09WIB




Jumat, 12 Februari 2010

Bentuk Kasih untuk Ibu?


WD Yoga, penulis buku Ledgard


Selamat Hari Ibu. Ucapan itu sering terdengar saat menginjak bulan Desember. Pada bulan ini, bangsa Indonesia meletakkan sebuah hari penghormatan bagi para Ibu; Ibu yang berjasa melahirkan para pahlawan. Ibu yang berkorban membesarkan orang-orang besar. Ibu yang merawat kita.

Penghargaan pada para Ibu terwujud dalam banyak hal. Mulai dari ucapan via sms kepada ibu-ibu kita yang terpisah jauh, ciuman sayang dan setangkai bunga hingga kado kejutan yang kita, anak-anaknya, siapkan.

Cerpen Sebarut Senja Ibu mengangkat tema yang sama, meski tidak mengaitkan dengan Hari Ibu. Cerpen ini mengangkat kisah seorang anak perempuan yang berjuang membelikan obat untuk ibunya yang sakit di rumah. Pengemasan cerpen ini membuat usaha mencari obat yang 'biasa' menjadi pekerjaan luar biasa. Perhatikan bagaimana penulis mengulang kata 'Aku berlari' untuk menunjukkan tekanan waktu. Di saat sang tokoh tinggal selangkah mendapatkan obat, lampu lalu lintas pun tiba-tiba menyala hijau, menambah tekanan pada diri sang tokoh utama.

Di tengah semangat penulis untuk menunjukkan pengabdian tokoh utama pada sang ibu, ada satu hal penting yang luput. Penulis lupa menggarap latar dengan seksama. Latar berbicara tentang di mana kisah ini terjadi. Selain berfungsi menguatkan estetika sebuah kisah, latar juga berfungsi untuk membangun logika apa yang mungkin terjadi pada suatu tempat di suatu waktu tertentu.

Dalam cerpen Sebarut Senja Ibu, penulis lalai dalam memperhatikan fungsi latar untuk membangun logika. Penulis tidak memikirkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi dalam cerpennya. Akibatnya fatal. Penulis membangun ceritanya di atas pondasi logika yang salah. Apa yang dilaksanakan oleh tokoh utama ternyata tidak mungkin, atau nyaris mustahil, terjadi dalam dunia tersebut.

Mari kita bedah logika cerpen ini. Pertanyaan mendasar, apakah kisah ini terjadi di pelosok desa ataukah di kota? Jika di desa, secara logika wajar tokoh utama kesulitan mencari apotek. Namun tidak wajar penduduk desa membiarkan seorang anak gadis mencari apotek dengan berlari sendirian. Lebih wajar jika salah seorang penduduk desa ikut mengantarkan mencari obat.

Sebaliknya, jika di kota, peluang sang gadis berjalan sendirian memang lebih besar mengingat penduduk kota kadang lebih egois. Tapi, jika latar cerita adalah kota, gadis itu tidak perlu berlari sepuluh kilometer. Tentu tidak masalah mencari sebuah apotek yang buka 24 jam sehari. Kalaupun ada kendala jarak, ia dapat naik sepeda, ojek, taksi atau bentuk transportasi lain.

Akibat tidak menyusun bangun logika dengan benar, perjuangan sang tokoh mencari obat yang menjadi inti dalam cerpen justru terasa tidak logis. Tentu, seorang penulis dapat menulis adegan di mana tokoh berbuat hal yang di luar kebiasaan. Namun, penulis harus menjelaskan latar belakangnya. Di mana, kapan dan kenapa sang tokoh melakukan itu. Dalam kasus ini, penulis perlu menjelaskan dengan rinci, di mana, kapan dan kenapa sang tokoh utama berlari sendirian, sepanjang sepuluh kilometer, di malam hari (atau senja hari?) tanpa bantuan orang lain, tanpa memakai alat transportasi. Dengan penjelasan tersebut, akan terbangun sebuah logika yang runtut. Logika ini akan membuat pembaca memahami tokoh dan menghargai perjuangannya. Sebaliknya, ketiadaan logika berakibat seluruh bangun cerpen ini menjadi rapuh. Pembaca pun merasa 'dipaksa' untuk bersimpati pada sebuah kisah yang tidak dapat mereka percaya.

Sejatinya, cerpen Sebarut Senja Ibu memiliki potensi untuk memikat pembaca. Tempo penceritaan cepat dan tangkas, cocok untuk membangun ketegangan. Jika penulis mampu membangun logika yang runtut, atau setidaknya menjelaskan latar belakang tokohnya berbuat di luar alur logika umum, cerpen ini memiliki peluang untuk menjadi kisah yang menarik.

Sebarut Senja Ibu


Aku berlari, membuka kemudian membanting pintu kayu rumah yang sudah reot. Menerobos keluar. Aku tak tau ini jam berapa. Dan memang tak sempat untuk sekedar melihat jam. Tak terlalu penting. Yang bisa kulakukan hanya melangkah secepat yang aku mampu.
Udara dingin begitu ganas. Tubuhku menggigil, aku lupa memakai jaket. Tapi itu sama sekali tak membuatku berhenti. Aku terus melaju, melewati sepinya kota. Kota, malam ini begitu lengang. Hanya sesekali motor berseliweran.
Aku terus berlari. Aku tak paham berapa jauh aku sudah melangkah, aku masih terus berlari. Segurat wajah lemah ibu ada dibenakku. Wajah teduh yang sekarang tergolek tak berdaya. Wajah yang selama ini mengajarkanku makna hidup secara berbeda. Mengajarkan aku kuat dan tak pantang menyerah. Mengajarkan aku selalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Melarangku untuk menangis hanya karena masalah dunia.
“Jangan menangis hanya kerena masalah dunia cah ayu, menangislah hanya kerana kamu mengingat Alloh. MerindukanNya. Hanya di saat itu kau boleh menangis.”
Kata–kata itu selalu terniang ketika aku selalu menghadapi masalah. Menjadikanku selalu menyembunyikan air mata menjadi sebuah senyuman. Aku tak mau ibu tau kalau aku menangis, karena itu hanya akan menjadikan beban untuknya. Saat ini aku melakukannya, seberapapun kuatnya dorongan untuk menangis, aku berusaha menahannya. Aku berusaha susah payah menahannya.
Ibu aku mencintaimu. lirih dalam hati aku mengucapkan itu.
***
Aku terus berlari. Mataku begitu mengantuk, sudah beberapa hari aku tidak tidur untuk menjaga ibuku, TBCnya semakin parah. Beliau sering batuk darah, karenanya Setiap malam aku selalu berjaga. Paginya aku bekerja.
Dua hari ini aku makan dengan tak layak, hanya sanggup makan makanan sisa yang disisakan oleh temanku. Bagi mereka mudah saja membuang nasi ketika kenyang, tapi berbeda denganku. Bisa makan saja, sudah membuatku harus bersyukur. Uangku habis untuk biaya berobat ibu. Aku tak akan mampu kenyang ketika ibuku belum mendapatkan obat.
***
Aku masih terus berlari. Aku terlempar ke ingatan dua belas tahun silam. Saat itu Ayahku selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan aku melihat ibuku menjadi korban ketidakwarasan ayah. Ibu dipukuli olehnya. Kejadian itu tidak terjadi hanya sekali, tapi setiap malam. Mulai dari sabuk, sapu, kemoceng hingga apapun yang dia temukan akan digunakannya memukuli ibuku. Tapi aku melihat sosok ibu begitu tegar menghadapinya. Beliau hanya menjerit ketika dipukul, kemudian menahannya. Tak pernah menangis.
Walau pukulan itu menjadi siksaan setiap hari bagi ibu. Ibuku tak pernah berhenti menunggu ayahku pulang. Ia duduk di sofa dengan kantuk berat yang kadang membuatnya tertidur. Memopong tubuhku yang masih kecil dipangkuannya. Kalau ayah menyiksa ibuku hingga menjelang pagi, itu tak akan mengahalanginya menyiapkan sarapan pagi. Jam 06.00 pasti makanan sudah tersaji di meja makan. Walau biru legam menghiasi beberapa bagian kulitnya. Satu hal lagi yang membuat ibuku begitu hebat dimataku adalah bahwa ibuku selalu berusaha membangunkan ayahku untuk sholat shubuh. Dengan telaten hal itu dilakukannya setiap hari. Yah, meskipun bisa ditebak hanya bentakan yang menjadi balasannya.
Hingga semuanya semakin parah. Ayahku bangkrut karena hutang judi. Semua harta yang kami miliki ludes untuk melunasinya. Parahnya ayahku pergi menghilang, entah kemana. Setelah meninggalkan sekian luka bagi ibu, dia pergi begitu saja. Akhirnya ibuku mengasuhku dengan kedua tangannya, sendirian. Dengan uang modal yang diberikan oleh keluarga ibu. Kami berjuang. Tak pernah mengeluh menapaki jalan hidup ini. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sekarang adalah giliranku untuk menjaga ibuku. Membalas semuanya.
***
Aku tak lelah berlari. Nafasku sudah terengah-engah. Asmaku kumat. Tapi itu tak menghentikan kecepatan berlariku. Kaki mulai lemas. Terlalu lelah. Rumahku yang jauh dari berbagai akses memaksaku untuk menempuh perjalan sepuluh kilometer untuk membeli obat di apotek.
Aku terus berlari. Sambil memegangi kerudung pemberian ibuku yang kukenakan saat ini. Aku mempercepat laju lari. Menerobos semak semak agar aku bisa menempuh jalan yang lebih cepat. Aku berusaha melewati jalan tikus agar aku bisa sampai lebih cepat. Ibuku sudah tak mungkin menggu terlalu lama.
Ah…Tidak!!!
Lampu hijau. Padahal, Apotek sudah di depanku. Motor, mobil, truk dan angkot berlalu lalang. Disini memang tempat paling ramai meskipun malam hari. Tidak ada waktu untuk menungunggu pikirku.
Aku menjinjing rok yang ku kenakan, berusaha memanjat pagar didepanku. Tak mudah ternyata. Aku berusaha susah payah. Berkali-kali aku harus melorot dari pagar. Seketika itu pula aku berusaha naik lagi. Berulang aku mencoba berulang itu pula aku gagal. Hingga kali ini aku berhasil. Tapi rokku robek tersangkut pagar. Nafas sesakku mulai membuatku tersiksa. Kakiku seperti membawa beban berton-ton.
Sampai di depan Apotek 24 Jam itu, aku mencoba mengatur nafasku yang begitu kepayahan. Aku memegangi rokku yang sobek. Mencoba mengistirahatkan semua sendi-sendi tubuhku. Setelah mendapatkan obat aku segera melangkah bangkit. Segera meninggalkan Opotek itu untuk pulang.
***
Aku terus berlari. Kini lariku semakin sulit, karena aku harus berhati–hati untuk memegangi rokku yang sobek. Langkahku sering terhenti. Semua semakin berat. Namun sesuatu melintasi otakku, yang menguatkanku kembali untu tidak mengeluh.
Otakku membuang ke ingatanku akan masa saat ibuku masih kuat. Masa pembelajaran akan berbagi diberikan olehnya. Meski untuk makan saja kami kesusahan. Namun ibu tak pernah menjadikannya alasan untuk tidak berbagai. Kami cenderung harus rajin menahan lapar karena uang untuk makan hari ini harus habis dibagikan.
“ Cah ayu, hari ini kita makan sepotong ubi ini aja ya. Tadi ibu ketemu mbah-mbah yang sudah tua. Ia sedang menggendong dagangannya yang berat banget. Ibu gak tega cah ayu. Ibu kasihan sama mbah itu. Jadi ibu memberikan uang yang ada di dompet ibu kepada mbah itu.”
“ Ah buk, mosok setiap harus makan seperti gini terus buk”.
“ Sabar cah ayu, besok ibu masak enak untukmu”.
Jawaban ibu yang begitu lembut itu yang menenangkanku. Membuatku kuat menahan lapar yang melilit perut. Walau terbukti, ibu tak pernah masak enak.
***
Aku masih berlari. Bulan tak terlalu menampakkan cahayanya, dia membentuk sebuah sabit. Bintang-bintang hanya sedikit yang menemani bulan di malam ini. Mungkin mereka pergi untuk menemani ibu di rumah. Atau mereka bersembunyi karena terlalu kasihan memandang keadaanku sekarang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. Asmaku benar sudah tak sanggup kutahan. Menyesakkan. Aku begitu kesulitan menghirup udara. Hidungku seperti tersumbat.
***

Aku terus berlari.Hanya berselang beberapa rumah lagi aku sampai rumah. Rumah yang berdinding anyaman bambu itu sudah kulihat. Aku masih tersiksa dengan asmaku. Dan aku juga masih berjuang untuk segera memberikan obat ini.
“Gedebrukk…”
Aku tersandung batu tepat di depan rumah. Tubuhku melemas. Tanah dan kerikil menggores kulitku. Kaki kananku dan tangan kiriku meneteskan darah. Perih. Aku benar-benar sudah tak mampu bertahan. Aku sudah tak mungkin berlari. Tubuhku tak mau diajak berdiri. Aku hanya sanggup merangkak mendekati rumah. Berusaha menahan perih luka dan asmaku.
Pelan-pelan aku menyeret tubuhku dari tanah menuju rumah hingga aku melihat ibuku sudah tergeletak di lantai. Ibu melihatku sebentar dengan memberikan senyuman tulus kepadaku. Aku melihat air mata menetes di pipinya, yang selama ini tak pernah kulihat. Darah menetes di pipinya, sebagian masih terlihat kental dan sebagian yang lain terlihat sudah mengering.
“ Ibu, ini obatnya. Sabar bu aku segera ke sana” teriakku.
Ibuku seolah tak mendengarkan terikanku. Aku sudah begitu dekat dengannya. Aku merangkak mendekatinya. Aku memegang tangan ibu. Meletakan di tangannya. Tapi aku merasakan tangan ibu begitu dingin dan lemas.
Ibu memejamkan mata. Aku menangis. Air mata menemani teriakanku. Aku sudah tak mampu menahannya. Nafasku menjadi semakin sulit. Aku berusaha menghirup udara. Tapi gagal, aku tak bisa menghirupnya.
Aku ambruk di dada ibuku. Semua berubah hitam. Semua gelap. Aku melihat ibu mengajakku ke tempat yang begitu terang.
17122009, 22:55


Rabu, 03 Februari 2010

UP GRADING FLP 3th DAY

Hari terkhir. Jadwal seperti hari sebelumnya. Kita mulai lagi jam 8. Terus langsung preserntasi kelompok. Jadi tadi malam kami dikasih tugas buat membuat rensra untuk FLP tahun 2016 yang akan membuat Rumah cahaya dan sekolah menulis. Kalau menurut pendapatku, kelompok 1 CWC banget gara-gara banyak CWCnya).Kelompok 2 produksi banget (gara-gara banyak orang produksinya. Kelompok 3 paling menyeluruh dan bagus.

Seingatku di hari ini ada 3 game. Game pertama yang dor-doaran. Kedua yang OK-lah kalau begitu. Ketiganya yang ikut-ikutan masquered. Yang game dor-doran, lido gak bisa bedain warna ungu dan violet. Atau entah mungkin karena lido terobesi dengan pasha ungu? Jan, aku gak dikasih kesempatan bilang sekalipun, dah langsung kalah. Kalau game Ok-lah kalau begitu, yang error adalah mas ilham. Masak, kalahnya gak berwibawa banget. Kasihan…kasihan…kasihan. Game masqauered. Kelompoku jadi mesin jus buah. Aneh. Cuma dapet juara tiga. Habisnya yang lain gak mau all out sih.

Pindah ke materi hari ke tiga tentang leadership. Ngantuk banget, meterine yo gak menarik. Udah gitu ustadznya juga datar banget. Sempet ketiduran. Terus dibangunin karena ngorok. Ah parah banget diriku ini.

Ah wes males bercerita, hari ketiga selesai. Terus pulang. Sampai rumah masih ngomongin tentang up-grading di rumcay. Lelah banget. Langsung tidur. Bismika Allohuma ahya wa bismika amud.

Sayonara….

UP GRADING FLP 2nd DAY


Bangun sebelum shubuh. Melakukan aktivitas ibadah masing-masing. Jam bebas sampai jam delapan kalau gak salah. Lumayan bisa seger, bisa badminton pagi-pagi. Sehat, kuat jempolan.

Nonton flim thinkerbell, seru. Tapi sayang aku lebih suka nonton sendiri. Nek nonton bareng-bareng maleh ngantuk. Gak bisa ekspresif.

Setelah nonton, masuk ke materi mas ganjar tentang ghazul fikr. Siang-siang bener-bener membuat ngantuk banget. Permen kopiko gak mempan sama sekali. Gak konsen mendengarkan materinya mas ganjar. Materi berikutnya tentang analisis sosial lebih parah. Ngantuknya dipangkat 1000.

Kembali menjadi kelompok untuk diskusi tentang TV. Kelompokku kebagian tentang kebudayaan masyarakat dan jam siar. Diskusinya kacau, ngomongnya gak konsen. Semua gak terlalu paham dengan temanya. Waktu membuat juga bentar banget. Di mushola malah jadi rame banget. Biarlah maju seadanya.

Cerita dipersingkat, kita langsung ke pentas seni. Kelompok lainya sudah begitu persiapan. Latihan terus. Mereka juga pinter aking-akting. La kelompokku? Semua masih belum beres. Kita Cuma siap konsep. Belum latihan sekalipun. Gak ada yang terlalu bisa akting. Show must go on. Kelompok 1 ceritanya tentang 5 F. Seru, tapi kelompokku asik dengan persiapan kami tampil nanti. Kelompok 2 ceritannya niru-niru Opera Van Java.bagus sebenarnya tapi terlalu lama. Kelompokku juga masih asyik dengan persiapan tampil. Apes banget pas kelompok kami harus tampil. Hujan turun deras banget. Suara gak mungkin bisa kedengaran, kalau kedengaran pun pasti lirih banget. Menunggu sampai hujan reda. Akhirnuya sedikit reda, kelompok kami langsung maju buat tampil.

Mbak risma memulai sebagai narator, membuka cerita drama kelompok kami. Suara mbak risma lirih banget. Pemain pertama mas solli dan mbak dwi. Sebagai anak dan bapak. Mbak dwi aktingnya bikin gempar(Papa aku sakit sambil jatuh. Lucu!). Setelah itu mia dan fatma masuk sebagai orang jepang yang sibuk. Scene berikutnya aku jadi orang mabuk(SA...KE). Mbak dwi juga muter sambil melempar-lempar serpihan kertas yang pura-puranya jadi salju. Jepang beres.

Mas solli sebagai tokoh utama pindah ke amerika. Sekarang aku jadi patung liberty. Fatma jadi orang amerika yang sibuk. Terus scene berikutnya bak dwi dan mia berakting sebagai pendemo yang mendemo terorisme dibawah patung liberty. Mereka kusuruh pakai jaket dan helm untuk meneutupi jilbabnya ( ideku aneh-aneh). Capek banget buk, jadi patung. Amerika juga beres.

Pindah ke arab. Scene ini aku jadi ka’bah dan jumrah. Tega nian aku dilempari banyak kertas. Terus Fatma dan mbak dwi jadi majikan yang galak dan TKI. Aktingnya fatma menjiwai banget. Mungkin itu sebenarnya kepribadiannya fatma(piace, fat!!!). Arab beres.

Tempat terkhir, Indonesia. Fatma jadi presenter semua stasiun TV yang lagi menyiarkan kriminal di Indonesia. Berikutnya aku jadi ustadz arifin ilhma, fatma dan mia jadi ibu-ibu pengajiannya (ada yang mendeskrisipkan sebagain AA’ Gym dan kedua istrinya.hehe). Harusnya aku berakting layaknya arifin ilham, tapi aku gak bisa. Gak tau ah, aku heri(heboh sendiri) aja dengan peranku. Indonesia selesai, akhirnya solli(tokoh utama)menemukan jati dirinya di Indonesia. Mbak dwi yang sudah jadi arwah( Saya Arwah) tersenyum di alam baka. Takhayul. Terus perkenalan. Kelompok kami menang lagi. Omedetto gozaimasu.

Setelah itu sesi malam, di isi game dan akhirnya tidur. Ah, melelahkan. Hari kedua berakhir.


UP GRADING FLP 1st DAY


Masih gelap gulita waktu sampai jogja, di Janti nunggu bentar. Eh lama dink! Soalnya ternyata angkutan adanya jam 6 padahal waktu itu aku sampai baru jam 5. Kebayangkan nunggu 1 jam?( meleleh banget pokoke). Gak betah nunggu lama-lama kuputuskan naik ojek. Tukang ojeknya agresif banget. Padahal aku udah bilang ogah, tapi dipaksa terus. Kasihan juga, akhirnya aku ngalah aja. Ok pak, antarkan saya dengan selamat ke Rumah Cahaya ya!!

Sampai di Rumcay langsung diajak belanja ke pasar X ( demi menjaga nama baik pasar kami memakai nama inisial, gak dink sebenarnya karena aku lupa nama pasarnya aja.hehehe). setelah cuci muka bentar, dan menaruh semua barang langsung cabut ke lokasi. Di lokasi aku sama mas ilham bingung. Kita janjian ketemu di belakang pasar. Tapi kami gak tau mana depan dan mana belakangnya. Mana di pasar ramainya minta ampun. Motor cuma bisa melaju dengan kecepatan 10 km/ jam, kalau gak salah ya!

Dengan sok tau akhirnya kami mengandalkan ilmu perfeelingan. Dan tak terlalu mengecewakan. Kami menemukan mereka. M’Yova dan M’Flo berdiri menunggu kami di depan pasar. Fiuh, sampai di pasar ternyata fungsi kami cuma nunggu barang belanjaan didepan pasar. Menyedihkan.

Di Rumcay lagi, eh ada fatma. Peserta paling rajin. Datang paling awal je. Tepuk pramuka buat Fatma. Btw, kedatangan fatma malah ngerpotin. Rewel terus, pengen pulang dulu karena gak ada temennya. Secara cewek sendiri. Udah gitu pagi-pagi banget. Fatma akhirnya diiket dibawah pohon rambutan biar gak rewel. Sembari menunggu panitia dan peserta yang lain.

Satu persatu peserta dan panitia datang. Rumcay jadi ramai. Keadaan saat itu sudah kayak orang mau pindahan aja. Barang-barang setumpuk. Ribut ini dan itu. Kesini dan kesana. Rame banget. Berhubung aku berangkat siang, jadi aku gak terlalu ikut campur.

Brut…brat…brit…mereka cabut. Tinggalah aku di Rumcay sendirian. Nunggu mas iim. Aku mandi, siap-siap semua barang bawaanku. Lama. Mas iim tak kunjung datang-datang. Akhirnya aku ketiduran. Zzz…eh baru, 15 menit mas iim datang. Langsung Marmos. Merintah ini dan itu. Ya,ya, ya seperti biasanya. Maklum.

Berangkat. Berbekal denah. Denahnya jan gak valid banget. Mosok jarak jauh dekatnya sama. Gak bisa dikira-kira. Kesasar. Di akhir, aku jadi tau, kalau ternyata bukan aku doank yang kesasar. Kasihan. Setelah menebak-nebak akhirnya sampai juga di tempat. Wah, tempatnya terpencil, sejuk, tapi sedikit angker.hihihi.

Berhubung waktu kami datang sudah masuk waktu Jum’atan. Lansung berangkat ke masjid dech. Ehm, sampai masjid prihatin disana sepi banget. Udah gitu pas sholat jarak antar shofnya bisa sampai satu orang sendiri. Gemes banget pengen narik orang sebelahku. Menghela nafas dalam.

Setelah jum’atan, kami sembunyi-sembunyi kabur karena aku dan mas iim terlanjur membeli makan dari rumah. Kan gak enak makan sendiri. Cari tempat makan dimana ya? Ada ide buruk, kita makan di warung. Jadi cuma numpang tempat sama beli minum doang. Malulah. Akhirnya makannya di masjid tempat kami sholat jum’atan tadi. Yakatta. Sampai tempat up grading, makan siang sudah siap. Pura-puranya aku dan mas iim belum makan. Terus aku dan mas iim makan lagi deh. Kenyang banget.

Ust. Fadli reza datang, materi di mulai. Materinya gak bosenin padahal berjam-jam dan jam siang pula. Asyik banget. Merasa banyak ilmu yang di dapat. Bisa ketawa-ketiwi. Materi selesai pas adzan maghrib. Habis itu jam bebas, makan malam dan Sholat Ishaq.

Materi hari pertama berikutnya adalah team building. Bergabung dengan kelompok yang sudah ditentukan sebelumnya. Kelompokku adalah mas solli, mbak dwi, mbak risma, fatma, dan mia. Nelangsa banget cowoknya cuma dua, oh ya, mbak dwi ma mia gak ikut games ini karena datangnya telat. Materi ini adalah kelompok disuruh membuat sebuah kereta kencana( walaupun semua jadinya perahu). Peralatannya dijual oleh panitia. Modal untuk membeli adalah point dari mutaba’ah kita. Singkat cerita, walau tim ku paling kacau waktu diskusinya, tapi kami mebuktikan bahwa tim kami memang hebat. Sampai di finish paling awal. Menang. Ini masih kemenangan awal dari tim kami lo, tim kami kan menang mutlak. Sapu bersih.

Malam dan segera tidur. Kasurnya empuk membuat gak terlalu lama untuk bisa tidur. Hari pertama selesai dengan menyenangkan.

I believe


If you were to be hurt

And about to stumble

I’ll be right beside you

And support you by the shoulder

This earth revolves

Carrying all the hopes in the world

Now is the time to open the door to be future

Sorrows and troubles

Will become joy some day

I believe in the future, I believe

If someone around you

Starts to cry

You will take his hand

And walk alongside him, won’t you?

I want to wrap the earth

With all the kindness in the world

If I can be honest with may feelings

Yearning and love

Will burst and sparkle in the vast sky

I believe in the future, I believe