Pages

Kamis, 28 Oktober 2010

Berkunjung ke Perpustakaan D. I. Yogyakarta

23102010 Tengah siang

Berdasarkan rekomendasi dari Mas Ashif dan keinginan sejak dulu. Akhirnya untuk akhir pekan ini saya menyempatkan berkunjung ke Perpustakaan Daerah (Selanjutnya Perpuda). Kunjungan pertama, saya baru sadar ternyata ada peringatan 25 tahun kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah jepang. Secara lebih khusus adalah Yogyakarta dan Kyoto. Inilah yang mebuat saya salut akan Jepang. Jepang seperti sedang menebus dosan masa lalunya.

Saya sudah lama tidak merasakan jalan-jalan menggunakan Busway. Jadi saya memutuskan untuk menitipkan sepeda motor di Mirota dan saya naik dari shelter Kopma.

Di depan Perpusda terdapat tugu berwarna merah dari sebuah simbol tugu yang ada di Kyoto. Banyak orang yang menyatakan Kyoto adalah Jogjanya Jepang. Seperti Jogja, Kyoto merupakan daerah yang penuh dengan situs budaya. Sangat menarik untuk wisatawan.

Kalau dilihat dari luar Perpusda sedikit tersamar dengan bangunan yang ada disekitarnya. Ini akan mempersulit untuk menemukannya. Bahkan tepat diluar gedung masih terlihat pedagang pada umumnya yang berjualan di Malioboro.

Setelah masuk saya langsung terkagum. Di sekitaran berjejer rak-rak dari arsip berbagai macam Koran dan majalah. Dari tahun 50an hingga masa melenium. Luar biasa. Manuskrip tua itu tersimpan rapi disini. Yang membuat saya terkagum lagi. Kesan berdebu tidak terlalu Nampak dari manuskrip itu. sekalipun masih sangat jelas bahwa bentuknya sudah kumal. Tapi saya harus memaklumi karena usianya yang selisih 40an tahun lebih dari umur saya.

Saya masuk ke dalam ruangan dibelakang ruang lobby. Betapa takjubnya. Saya. Manuskripnya lebih tua ketimbang kedua orang tua saya. Subhanallah!

Interior ruangan dibuat masih sangat tradisonal. Ini mungkin alasan Pepusda menjadi cagar budaya. Walaupun kemoderenitasan sudah teraplikasikan dalam berbagai sudut ruangan. Mulai AC, Wifi, ruang audio visual(digunakan untuk bisokop mini). bahkan di lantai dua saya menemukan kamera pengintai.

Saya begitu tertarik untuk menikmati fasilitas lesehan untuk membaca di ruang lobby. Lantai yang berbahan kayu halus. Seolah saya membayangkan berada di Jepang.(sebagian rumah jepang masih menggunakan kayu sebagai lantai). Suasana yang sangat sepi. Padahal tepat di depan merupakan jalan Malioboro yang sangat padat. Itu kerennya, semacam ada sekat yang memisahkan. Perpuda seperti telah memiliki bagian yang tak terusik dunia luar ketika kita sudah berada di dalam.

Kita juga tak akan kebingungan saat kebelet. Ada kamar mandi yang bersih di bagian belakang. Di sebalah toilet ada mushola yang cukup luas untuk pengunjung Perpusda yag bisa dihitung dengan jari setiap harinya.

Setelah lega buang hajat saya melihat ruang Gallery berupa halaman yang diisi dengan beberapa alat percetakan.

Di depan ruang gallery saya memutuskan untuk berkunjung ke ruang pameran buku Kyoto. Jumlah bukunya tak terlalu banyak. Rata-rata bukunya menggunakan huruf hiragana. Saya sempat mencoba mempraktikan ilmu bahasa jepang saya untuk membaca dan mengartikan maskudnya. Ternyata hanya berhasil dua kata. Yaitu “watashi” yang artinya saya dan “ wa” yang merupakan partikel dalam Bahasa Jepang.

satu ruangan terakhir yang bisa kita kunjungi di lantai satu adalah ruang nusantara(saya tak yakin namanya itu, saya agak lupa). Ruangan yang berisi foto-foto sejarah Yogyakarta dan buku – buku tentang Yogyakarta.

setelah asyik dengan lantai satu saya beranjak naik kelantai dua. Saya suka bentuk tangganya. Muter gitu. Bagi saya asyik naik tangga sambil muter. Saya sampai naik turun tangga beberapa kali. Sebagian orang pasti melihat dan membatin “dasar udik”.

Lantai dua berisi beberapa ruang diskusi dan belajar. Sekumpulan meja dan kursi yang tersusun rapi. Di sini tersedia banyak tempat diskusi. Kita pasti akan betah berlama-lama di sini. Tenang sekali suasananya. Meja diskusi panjang juga bisa menampung sekian banyak orang. Ada ruang Jogjasiana yang memuat buku-buku tentang Jogja. Dan ketika kita membuka pintu di ujung, saya langsung merasa seperti di iklan-iklan. Pemandangannya langsung terhampar ke Malioboro yang padat.

Sedikit yang yang menggangu adalah lantai dua ACnya saat itu tidak dihidupkan. Langsung terasa panas ketika saya menginjakkan kaki di lantai daun. Semoga ini hanya ketidak beruntungan saya yang berkunjung disaat AC tidak dinyalakan.

Setelah merasa puas saya haus dan membeli sari kacang ijo kotak. Tak dinanya untuk pertama kalinya saya melihat indomaret yang sebagus ini. ada ruang wi-finya. Dan deretan kursi yang bisa di pakai untuk itu. jadi tempat dagangannya agak sedikit kebelakang.

NB: sebenarnya mau di posting sekali foto-fotonya, tapi karena dari DSLR, memori satu foto gede dan berat kalau diposting-bikin lama-. Kebetulan laptop saya yang ada picasanya lagi tidak bisa buat internetan. Jadi ya dinikmati saja ya!

Senin, 25 Oktober 2010

3 Cinta dalam Imajinasi

Norah Jones, Dee dan Hinata. Aku memaksakan ketiganya menjadi sejajar untuk mengisi hari-hariku. Norah Jones adalah penyanyi jazz yang suaranya membuat siapapun merasa seperti disapa. Dee dengan Supernova dan Rectoverso telah merubah Dee menjadi sosok penulis yang selalu dihati. Terkahir adalah Hinata, tokoh di manga Naruto. Tokoh imajiner yang sudah kujadikan kecengan sejak SMA.

Aku selalu berfikir bahwa aku tak harus melihat sosok asli mereka. Norah Jones itu orang mana. Dee itu beragama apa. Kenyataan bahwa Dee adalah seorang istri dari siapa. Fakta bahwa Hinata hanya tokoh dalam sebuah cerita. Aku tetap ingin mereka sesuai imajinasiku. Lekat tak bergerak.

Biarlah aku membayagkan bahwa Norah Jones adalah wanita dewasa yang cantik, mengayomi dan penuh perhatian. Norah Jones memiliki segudang cinta yang akan selalu dibagikan kepada semua yang mendengarkan lagunya.

Dee dalam bayanganku layaknya wanita berusia dua puluh tahunan. Sosok jenius yang mampu membuat semua tampak berkelas dalam ceritanya. Cerita-ceritanya seolah hanya ditunjukkan kepadaku. Aku seperti memiliki tulisan-tulisannya, masuk dan merasakannya. Dee penuh keromantisan dalam bertutur kata dan mendedangkan lagunya. Bukan menciptakan lagu murahan dan klise. Tapi Dee membuat cinta jadi terasa berbeda.

Berbeda dengan Hinata. Aku tau sosok dari Hinata. Gadis pemalu, kurang PD dan rasa cinta yang tersembunyi. Aku telah mengimajinasikan Hinata sebagai sosok nyata yang ada di dunia nyata. Jangan sebut aku aneh atau autis. Aku sendiri tak tau kenapa itu terjadi. Hinata sudah bertahun-tahun mengisi cinta dalam hidupku sekalipun lagi-lagi itu hanya imajinasiku saja.

Aku selalu berharap ada sosok Hinata dalam kehidupan nyata. Aku ingin dikagumi diam-diam tanpa aku ketahui. Itu membuatku laksana pria istimewa. Dan gadis pemalu seperti Hinata telah berubah menjadi kriteria khusus seorang wanita menurutku.

Minggu, 24 Oktober 2010

Telisik Makna Kebaikan

Bagi saya hidup ini harus dijalani dengan berat. Sejak aliran hidup ini mengalir saya sudah mengalami berbagai macam hal yang berat. Semua orang memiliki kadar masing-masing untuk menakarnya. Bagi saya ini hanya masalah yang terus membuntuti. Setiap saya berada disuatu tempat maka dengan otomatis masalah itu ikut dibelakang. Waktu juga tak mampu memisahkan hubungan saya dengan masalah ini. Kendali ada di saya untuk menyelesaikan semua ini. Hanya ini masalah yang terlalu terurai panjang dan ruwet. Saya hanya akan berusaha sebisa saya. Berhasil atau tidak belum ada indikasi secara pasti.

Sejak tadi saya terus menyebut kata “masalah”. Itu membuat sebuah kewajiban bagi saya untuk menjelaskannya. “masalah” yang saya maksud adalah jiwa asosial yang sudah terlalu sering saya bahas di blog saya ini.

Ada pertanyaan dari teman saya yang ditunjukkan ke saya setelah saya selalu mengeluh masalah asosial ini.

“ Apa sesungguhnya yang sudah kamu lakukan untuk menyelesaikan masalah ini?”

Lalu saya menjawab.

“Berbuat baik kepada sesama.”

Dia diam dan menyepakati.

Pangkal dari masalah ini jiwa egoistis, individualistik dan Whisnu minded. Semua hanya bisa diatasi ketika kita mulai menaruh semua kebiasaan pikiran yang buruk itu ke dalam tempat yang tepat. Lalu kita dituntut untuk menyeburkan diri ke dalam kehidupan nyata. Kehidupan dimana adanya kewajiban interaksi diantara penduduk bumi. Saya harus meninggalkan zona aman di ruang lingkup sempit yang telah saya buat sendiri. menyingkirkan pagar pembatas sekat-sekat. Sudah saatnya saya berani menjalani hidup layaknya manusia normal. Menjadi makhluk sosial.

Sering saya memiliki teman. Namun tak pernah berumur lama. Selalu ada permasalahan tidak masuk akal yang membuat akhirnya kami saling berjauhan. Padahal awalnya kami begitu dekat. Ada saya maka ada teman saya. Kami seolah dijodohkan oleh lingkungan sekitar kami. Kenapa kami bisa berpisah adalah karena kami terlalu dekat. Sudah menjadi kelemahan saya untuk tidak terlalu mau membuka diri dengan banyak orang. Kalau berteman hanya mau dengan satu orang saja. Tapi saya berusaha memaksimalankan hubungan saya itu. Hingga terikat satu hubungan yang begitu erat. Mungkin karena terlalu erat itu yang mebuat masalah kecil bisa terasa besar. Atau kami terlalu menjaga agar hubungan kami awet dengan kebahagiaan dan melupakan bahwa suatu saat kami akan mengalami masa ujian pertemanan diantara kami.

Sekarang kita akan memabahas solusi yang saya tawarkan untuk diri saya sendiri. Berbuat baik kepada sesama. Sudah bebarapa saat ini, saya berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hal berat pada awalnya. Terlihat sepele. Kita hanya perlu memberikan apa yang orang lain butuhkan. Itu akan membuat kebahagian teman saya muncul. Secara tidak langsung saya mendapat sumbangan kebahagiaan dengan kadar tak tentu. Seiring dengan terlewatinya waktu. Saya merasa berbuat baik ternyata bukan perkara mudah. Saya baru menyadari kalau berbuat baik artinya kita membunuh diri kita dan yang harus ada adalah orang yang kita tolong. Kita tak boleh memikirkan bahwa kita juga butuh atau ketika kita akan kelabakan setelah memberikan bantuan kita. Kita sudah mati.

Contoh peristiwa adalah. Teman saya hutang lima puluh ribu. Di dompet saya hanya ada lima puluh ribu lebih sedikit. Karena sepertinya teman saya membutuhkan. Sudah tentu saya punya kewajiban untuk meminjaminya. Setelah itu dia bilang baru akan membayar beberapa hari lagi. Seingat saya empat hari. Kalau saya melihat dompet saya, kemampuan daya belinya hanya akan bertahan hingga dua hari. Nah, dua hari sisanya menuntut saya harus mencari cara untuk memenuhi hajat hidup. Dengan cara bagaimana? Jelaslah bahwa saya juga harus berhutang dan menghemat pengeluaran semaksimal mungkin. Lebih tepatnya menolong orang berhutang dengan berhutang.

Setiap kali saya berfikir apakah berbuat baik semacam itu benar atau salah. Saya akan mengingat Rasulullah yang memang melakukan demikian. Sebagai umatnya yang terpisah jarak waktu yang jauh. Saya hanya bisa menirunya. Dengan demikian saya mendapatkan semangat baru untuk terus berbuat baik. Sekalipun kepada orang yang tidak pernah berbuat baik kepada saya. Setidaknya kejahatan meraka harus saya balas dengan senyuman, tegur sapa yang ramah.

Saya juga tidak harus menuntut mereka membalas apa yang sudah saya lakukan. Biarlah Sang Maha Pemberi yang mebayar semuanya. Walau kadang terbesit harapan bahwa teman saya akan mebalas “perhatian” ke saya. Selama ini saya hanya membutuhkan rasa perhatian itu.

Bagi yang membaca catatan ini. Harapan saya agar kita bisa saling menguatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran. Dengan sabar maka kita akan terus bisa berbuat baik.

05.55 WIB di ruang tengah Rumcay

Bersama beberapa lagu Yui

Jumat, 22 Oktober 2010

Di bawah Ketiak Setan

Bar ngaji trus aku berubah jadi abu.
Bur! Keterak angin

Ning ngisor wit meneng aku. Setan datang dan bertanya
“lagi ngapain yank?’

Nemu botol. Tak gosok. Keluarlah jin berkaus oblong. Menawarkan berupa rupa permohonan.

Lagi termangu di pinggir jembatan. Berniat bunuh diri. Iblis datang dan berkata
“ rokok bang?”

Di bawah lampu remang remang di pojok jalan. Terkulum seringai senyuman setan.
Di bawah pohon jatuh. Gedebuk! Kepala menyala nyala!

Lilinku bergoyang. Aku hampir tertangkap!

Hap! Genderuwo menelanku bulat bulat

*Kolaborasi saya dan Handika berawal d
ari keisengan melalui sms

Dua Wajah dalam Satu Novel














Bagi penggemar Adrea Hirata sudah tentu tidak asing lagi dengan novel terbarunya dwilogi Padang Bulan. Novel dalam satu buku namun terdiri dari dua cerita yang menceritakan dua garis cerita yang berbeda namun berkelanjutan.
Sebagai pembaca yang haus akan segala hal yang baru. Mudah bosan dengan bacaan yang latah. Dalam novel ini kita akan dimanjakan dengan cerita yang idenya segar. Untuk Novel Cinta di dalam Gelas kita akan dijamu dengan cerita Maryamah dengan kepedihan hidup yang tak pernah membendung semangatnya untuk belajar bahasa inggris, cerita ikal dengan kedai kopi milik pamannya dan sekilas cerita lama Ikal dengan A Ling. Sedangkan untuk novel Padang Bulan kita akan disuguhi lanjutan cerita Maryamah untuk memperjuangkan harkat hidupnya sebagai wanita dalam sebuah pertandingan catur di acara 17 Agustus.
Adrea hirata bisa dibilang pendatang baru dalam kancah dunia sastra. Meski demikian bahasa sastranya sudah terasah dengan baik dan lembut. Gaya bercerita yang lembut membuat pembeca dengan suka rela larut dalam cerita yang ditulisnya. Sistem penulisan mozaik juga membuat novel ini enak untuk dinikmati. Sistem penulisan mozaik memungkinkan antara Bab seperti sebuah puzzle yang terpisah. Sehingga satu bab belum tentu berkaitan dengan bab berikutnya.
Dalam novel ini adrea hirata begitu luar biasa dalam memaparkan secara filosofis sosiologi manusia yang ada disekitarnya. Bagaimana dalam cerita ini dia mengekplorasi semua karakter dengan dalam dan berbeda. Hingga untuk sebagian tokoh dikaikatkan dengan cara meminum dan mengaduk kopi. Bahasa yang diramun dengan jenaka merubah sebuah kajian yang sebenarnya berat menjadi suatu yang menghibur.
Namun novel ini membuat sebagian pembaca tentu bertanya. Harusnya novel dwilogi Padang Bulan adalah lanjutan tetralogi novel laskar pelangi. Bukan novel yang seolah berdiri sendiri dan baru. Walaupun sebenarnya sudah dijelaskan didalam novel oleh Adrea Hirata.
Terlepas dari itu, Novel ini menjadi referensi menarik untuk melengkapi koleksi di rak buku kita. Novel ini akan menjadi hiburan ditengah kejengahan karena kejenakaannya yang menghibur. Maka segeralah berburu novel ini!

PKM oh PKM, Jilid 2

Jum’at selalu terlihat sendu, beda halnya dengan kami(Saya, Ayu dan Erva) yang seperti segerombolan mahasiswa tanpa beban. Padahal beban UTS sedang bersarang di segenap penjuru otak. Belum ditambah beban laporan, tugas kuliah sampai cucian yang nggak kering-kering atau malah masih menumpuk di kamar?

Masih teringat perjuangan dengan Ayu di rabu siang dan malam. Sejatinya kami berdua hanya ingin mengedit format halamannya saja. tapi tak disangka, itu menjadi puncak frustasi. Saya menyerah, mengetuk-ketuk meja, menggerakkan tetikus komputer, sampai istighfar sebanyak-banyaknya tetap saja belum bisa menyelesaikannya. Ayu dibelakangku hanya melihat dan memberi semangat (tugasmu mulia sekali yu!). Sampai akhirnya dengan memgucap Bismillah saya membuka google, eyangnya solusi. Dari situ saya dikasih tau cara untuk masalah yang tengah saya hadapi. Namun tetap saja, saya dan Ayu kebingungan.

Belajar satu hal bahwa kebahagian itu tidak terikat akan sesuatu. Dalam hal ini saya membatasi kebahagian adalah ketika kita tertawa. Tidak membutuhkan modal berupa uang yang banyak, hanya dengan modal kemampuan mengolah suasana saja sudah bisa membuat guyonan nan bermutu dan renyah. Tidak pernah terikat waktu, kebahagian datang begitu saja tanpa permisi. Tak perlu tempat mewah untuk merasakannya.

Dar situ bersama Erva dan Ayu membuat mie lidi sebagai bahan bercandaan. Ceritanya adalah saya sakit perut karena memakan mie lidi berwarna merah rasa cabe dan merica. Mie lidinya itu bisa membuat kita menangis bukan karena terharu tapi karena kepedesan. Efek berikutnya adalah perut jadi mual. Mie lidi satunya berwana putih rasa garam. Rasanya hanya asin. Kreatif sekali. Mungkin setelah ini aka nada variasi rasa lain semisal rasa teh, rasa kopi, rasa seledri, rasa daun salam dst. Tapi dilarang memakan mie lidi banyak-banyak karena mengandung banyak micin. Akibat bagi kesehatan adalah sanggup menimbulkan kanker payudara(Bagi pria tentu itu tidak akan terjadi dibagian itu). Mungkin untuk pria menyebabkan kanker lidah, kanker rambut, kanker bulu mata, kanker kuku jempol kaki kiri.

Kami juga tertawa sepanjang perjalanan pergi. Menertawai Ayu yang masih duduk nyaman di demawa tanpa kepentingan apa-apa. Saya bilang dia cuma menuh-menuhi ruangan saja. Saat berjalan kami memilih lantai yang bagus karena biar terkesan sedang berjalan dengan mewah. Membuat kesepakatan untuk menuruni tangga dengan anggun. Oh, ini apa-apaan?

Setelah berlelah-lelah sekian hari dengan PKM, sejenak kami merasa plong. Sudah tidak terhantui PKM lagi. Buat Erva dan Ayu pasti merasa lega karena tidak perlu mendapat semprotan dari setiap sms saya. Maka kita harus rajin berdoa agar tidak ada revisi lagi. Lebih lanjut, agar PKM kita didanai. Lebih tinggi lagi, kita bisa sampai PIMNAS. Amin.

Senin sudah ujian, jangan lupa belajar dan berdoa. Sukses ya!

Jumat, 15 Oktober 2010

PKM oh PKM

Episode Jum’at mendung,

Memang benar kata para pakar psikologi bahwa ketika kita dalam keadaan kepepet maka kekuatan kita akan lebih sanggup terurai. Betul saja, seharian saya dan rekan satu PKM(Ayu, Erva) plus pemain figuran Seno. Berjuang mati-matian.

Mendung menenggelamkan keperkasaan matahari. Membawa suasana sejuk. Sangat merayu untuk bersantai-santai saja. Fakultas Pertanian juga masih padat merayap. Semua masih berburu kepentingan masing-masing.

Saat berjalan untuk mencari tanda tangan, seseorang mengabarkan kalau format halaman pengesahan PKM harus seperti ini, sambil menunujukkan format yang benar ke kami. MasyaAllah, sepele tapi akan berdampak pada apa yang harus kami lakukan berikutnya. Maka mulailah kami mengedit. Menggunakan meja dan kursi di sebalah ruang wakadek.

Inilah sifat saya yang menjengkelkan, disaat begitu panik maka saya tidak bisa memikirkan dengan fokus. Pikiran bercabang kemana-mana. Padahal sudah jelas sebanrnya saya sudah mengedit. Tapi karena keteledoranku, saya tidak melihat filenya. Padahal file nya masih ada di Flasdisk saya. Hanya saya mengganti namannya. Dan baru saya sadari setelah saya berada di Warnet.

Langkah dan rasa lapar seolah berpacu menghalangiku. Asupan nutrisi ke otak menjadi berkurang. Hingga saya lupa membawa dompet dan telepon genggam. Kebingungan bagaimana cara nanti saya membayar terus meraba-raba. Kalau kembali, tentu akan membuang – buang waktu. Alasan lain karena saya sudah lelah. Kemudian dengan percaya diri yang dipaksakan saya mencegat seseorang yang kukenal, namun tidak terlalu dekat. Langsung saja tanpa basa-basi saya bilang saya butuh uang. Sepeluh ribu terkantongi. Lega.

Berhubung saya ikut dua PKM tentu tugas saya juga berkelipatan. Setelah selasai dengan tugas satu PKM. Saya harus bergegas mengerjakan PKM satunya lagi. Ternyata saya harus kembali menuruni tiga tangga. Nafas saya sudah tersengal-sengal. Sisi diriku yang baik terus beristighfar, kebalikan dengan sisi burukku yang dari tadi terus saja megumpat dengan menyebut beberapa nama buah. Salah satunya jambu. Kita tak perlu membahas kenapa jambu kan?

Selasai itu, aku memutuskan untuk membelikan rekan-rekanku dengan susu kedelai. Proteinnya yang tinggi mungkin akan meberikan tenaga bagi kami.

Meja yang kami pakai berantakan dengan semua barang- barang kami. kertas berserakan semaunya, proposal terpisah-pisah di tempat yang berbeda dan serangkaian alat lainnya. Rekan –rekan saya terus saja asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Saya tentu punya pekerjaan lain. Berburu tanda tangan!

Ruangan Pak Arman terlihat rapi. Jarang sekali dosen memiliki ruangan yang tersusun rapi. Itulah alasan kenapa saya selalu mengakaitkan meja yang tidak rapi dengan kecerdasaan yang dimiliki sesorang. Semakin tidak rapi semakin cerdas. Karena orang cerdas itu terlalu sibuk akan hal yang dianggapnya penting. Merapikan meja itu hanya membuang-membuang waktu. Saya tidak hendak mengatakan Pak Arman tidak cerdas. Wah dengan rasa hormat yang tidak terkurangi secuilpun. Saya adalah pengagum kehebatan Pak Arman. Mungkin Pak Arman sedang ingin disukai oleh Allah karena kerapian itu adalah keindahan. Dan Allah suka dengan keindahan.

“ Mas sepertinya idenya ini sudah pernah ada.”

Saya kemudian diam sejenak. Tak apalah pak, sekarang sudah tahap akhir. Kalau saya harus merenovasi ide tentu saya akan merombak kesemuanya.

Saya dan seno memutuskan untuk menenangkan diri dengan alasan ingin Sholat Jum’at terlebih dahulu. Saya langsung ke masjid dan Seno katanya masih ingin di Gazebo. Kami berpisah di tengah jalan. Erva dan Ayu kami biarkan mengerjakan menyelesaikan tugasnya dan menunggu kami selesai Sholat Jum’at.

Siang itu susah dibedakan dengan sore hari. Langit seolah sedang cemberut. Matahari sedang libur untuk menyinari bumi. Setting tempat berpindah ke Sosek. Semuanya sudah selesai. Tugas di estafetkan ke saya untuk mencentak dan menjilid 2 proposal sekaligus.

Saya memutuskan untuk ke percetakan paling murah. Jelaslah, saya kan bukan akan mencetak selembar atau dua lembar. Mungkin akan mencapai angka ratusan. Saya sejenak melihat dompet, isinya hanya kumpulan uang seribuan yang jumlahnya tak banyak dan receh yang jumlahnya tak kalah sedikitnya. Saya takut uangnya kurang. Saya langsung menghubungi Erva untuk memeberikan uangnya kepadaku. Erva datang dengan wajah lelahnya.

Saat print-nya hampir selesai, saya baru sadar bahwa beberapa barang tidak saya bawa. Maka saya menyuruh Erva datang lagi. Parahnya setelah Erva pergi saya baru sadar lagi ada beberapa barang yang terlupakan lagi. Tak mungkin untuk meminta Erva datang lagi. Telepon genggam Erva juga ditinggal di saya(Inikah negative efek dari the power of kepepet?). Saya juga tidak tegalah menyuruh Erva bolak-balik, apalagi tadi dia kehujanan.

Setelah semua selesai saya berjalan dengan dijatuhi hujan rintik-rintik. Helm kugunakan sebagai pengganti payung. Jilid menjilid diisi dengan berbagai macam ketinggalan. Karena saya butuh merubah filenya dari word ke PDF maka saya harus ke rental terlebih dahulu sebelum menjilid. Tempat terpisah itulah yang menyebabkan saya ketinggalan helm dan beberapa proposal milik Seno di tempat percetakan. Jantung sempat dag-dig-dug.

Ayu kuminta segera ke demawa karena sebantar lagi urusanku selesai. Langkah lunglai melaju ke demawa. Disana, ternyata demawa sudah tutup. Setumpuk proposal yang harus direvisi tertumpuk rapi di meja. Beberapa mahasiswa sibuk mencari dan bertanya. Untuk kali ini saya menikmati sofa empuk demawa. Saya sudah lelah. Inti dari semua ini adalah usahaku sedari pagi ini akan dibuang. Semua proposal yang sudah kuperjuangkan akan diedit lagi.

Uang recehku jatuh!