Pages

Selasa, 17 Mei 2011

Ada Masa Akan Ada Whisnu Jr

Obrolan teman-teman bertema nikah dengan sekelumitnya, hanya membuatku terdiam merenung. Aku tak paham, tapi tak juga ingin paham. Aku hanya asyik mengembara dalam bayangan ketika kelak telah menikah dan pasca menikah. Biarlah teman-teman asyik memperbincangkannya karena mereka memang lebih dari siap untuk itu.

Justru dalam bayangan itu, aku seperti tertusuk perasaan tegang. Ada bayangan tentang masa depan yang menghantui. Nikah bukan hanya sekedar mengikat cinta tanpa memeliharanya dengan baik. Butuh cinta untuk selalu menyuburkan cinta. Dan itu bukan perkara mudah karena kita bertentangan dengan waktu yang kadang menggerus kesabaran seseorang. Ada kegagalan dalam pernikahan bukan hanya karena tergelincir tapi sudah lebih dari itu, berkhianat.

Terlepas masalah substansial tentang hakikat cinta, baik dicintai maupun mencintai. Ada perasaan gamang untuk tergesa-gesa menikah. Menikah bukan hanya dibutuhkan kesiapan memiliki seorang pendamping hidup. Namun juga harus ada kesiapan untuk membangun kerajaan kecil beranama keluarga. Dan dalam keluarga ada sepasukan tentara polos yang harus selalu dididik agar tumbuh perkasa. Itu jelas bukan perkara mudah.

Kemudian aku digempur dengan pertanyaan,” Siapkah segala kematangan pribadiku untuk menjadi teladan yang baik untuk istriku lalu anakku kelak?”

Muncul dua hal yang menakutkanku yang kugaris bawahi diotakku, pertama tentang like father like son dan karma hidup.

Buah jatuh tidak pernah jauh dari induknya, jika ada buah yang bagus pasti muncul dari pohon yang bagus pula. Setidaknya anakku akan mirip aku, mungkin sedikit garis warna yang ditorehkan istriku. Ah…bisa dibayangkan ketika kelak aku harus mengasuh Whisnu Jr 1, Whisnu Jr 2, Whisnu Jr 3, dst? Aku cukup mengerti diriku dan segala peringaiku. Justru karena mengenal diriku sendiri, aku jadi takut gagal. Aku jadi takut anakku seperti aku dengan semua kekuranganku yang menurun padanya. Maka sungguh untuk menghadapi semua juniorku kelak harus butuh kesiapan dan kematangan yang sempurna. Satu lagi, butuh istri yang mampu mengurus dengan bijak semua Whisnu, baik senior maupun junior.

Kedua, di dunia ini berlaku hukum alam yang timbal balik. Siapa yang menanam dia yang menuai atau disebut karma. Dengan bayangan masa kecil dengan pernak-pernik kenakalanku. Aku lalu mengukur seberapa akan terbalas itu semua padaku oleh anakku kelak. Seperti dulu aku melakukannya pada ayah dan ibuku. Misalnya aku yang suka bungkam mulut sampai satu minggu hanya karena ayahku nonton acara berita yang seharusnya jadwalku nonton Naruto, akibatnya aku harus kehilangan satu episode naruto. Atau mogok makan kerena janji dibelikan sepeda baru yang tak kunjung terealisasi. Yang lain lagi tidur sembarangan dikursi terminal karena marah dengan ayahku yang tak mau merubah keputusannya untuk naik kereta api. Itu yang terhitung dan teringat. Betapa banyak yang luput. Semua dalam ukuran waktu. Yang jelas, semoga ayah dan ibuku mengikhlaskan semua kenakalanku hingga semua ketakutan itu hanya ketakutan.

Begitulah menikah. Memang menyenangkan pada satu sisi, tapi berat disisi lain. Ada bahagia tapi juga banyak deritanya. Cepat atau lambat, entah ketika umur berapa kesiapan itu mulai menyapaku. Aku mau tak mau akan segera menikah dengan orang yang tepat. Untuk masalah siapa, aku cuma bisa bilang Jodoh ada ditangan Tuhan!

Senin, 09 Mei 2011

Pikiran Kusut

Namamu paling sering kusebut di blogku. Terlalu sering aku bergulat dengan rasa rindu, jengkel, kagum tentangmu. Ada banyak rasa yang lebih tak terucap, itu semata belum ada penguraian yang lebih tepat untuk rasa itu.

Dulu…dulu sekali-kenangan 5 tahun yang lalu bagiku sudah seperti hitungan berabad-, aku dan kamu bersahabat dalam banyak ragam yang begitu berbeda. Aku suka biologi, kamu membecinya. Bagimu biologi cuma kutukan untuk berdiam dengan banyak hafalan. Tapi…ajaibnya kamu selalu mewakili sekolahan untuk olimpiade hingga ke propinsi. Meninggalkan aku sebagai penerima kabar bahagia akan itu. Aku yang mellow, childis, egois, arogan selalu berimbang pada kedewasaanmu. Selalu saja aku bisa menyandarkan masalahku, lelahku, jengkelku padamu. Walau hanya komentar datar yang teucap dari mulutmu. Itu lebih dari penenang yang manjur. Disaat lingkungan menganggapku manusia maya, kamu mendekat kesampingku. Kamu membawaku untuk menelan rasa pengucilan itu. Aku masih ingat kamu pernah begitu gigih membantuku menerbangkan balon udara. Sekali nyaris membakar rumah teman, sekali terbakar di depan kelas karena menyenggol tanganmu hingga aku marah besar untuk kecerobohanmu itu. Tapi aku tau, kamu meluangkan waktumu untuk membantuku lebih dari yang lain.

Sekarang ada jembatan antara aku dan kamu. Ruang, waktu, dan rasa kita sudah terpisah. Aku dan kamu terpisah pada sisi yang berlainan. Bagimu mudah untuk mencari penggantiku. Satu, dua, tiga, empat, lima, seratus, seribu, mudah saja bagimu untuk mendapatkannya. Bagiku itu hal sulit yang terlalu rumit. Begitulah aku yang masih berkutat pada masalah social. Masalah membuka diri, masalah menerima orang lain, masalah berjuang untuk diterima orang lain.

Kehilangan persahabatan denganmu memang terlalu berat bagiku. Bagimu? Bayangkan ketika kamu selama ini menggendong sebuah pulpen di sakumu. Ketika pulpen itu lenyap. Kamu hanya akan merasa tak ada yang hilang. Semua baik-baik saja. Itu karena kamu tak pernah mengeluarkan energy untuk mempertahankan pulpen itu tetap di saku. Sekarang bayangkan ketika setiap hari kamu harus menggendong seserorang dipunggumu. Ada energy besar yang kamu keluarkan agar kamu terus kuat mempertahankan dia dalam gendonganmu. Saat gendongan itu terlepas, betapa terasa kehilangan itu. Sekarangpun demikian. Aku sungguh merasa setelah sekian lama menggendong persahabatan kita. semua itu melorot hilang ketika dengan sadar kamu menjauhikutanpa alasan yang jelas. Lenyap. Pedulikah kamu?

Sayangnya sekarang kamu begitu menjauh. Aku ragu diotakmu pernah terkilas wajahku, namaku walau hanya satu kali saja. Meski hanya sepersekian detik.

Aku mengeluhkanmu setiap hari pada banyak orang. Yang menyiksaku, aku mulai berusaha membentuk orang disekitarku untuk menjadi kamu. Bim…Sala…Bim…tidak ada yang terjadi. Kamu tetaplah kamu. Tak akan ada kamu yang lain yang menggantikanmu. Tidak akan pernah.

Kita memang terpisah oleh jembatan. Tapi semua jembatan selalu sama dimanapun itu, selalu terhubung antara kutubnya. Kini aku akan menunggumu berjalan menyebrangi jembatan menuju arah sisiku lagi. Aku mengunggumu….menunggu…menung…menu…me…hingga kata itu lenyap!

Kamis, 28 April 2011

Surat Kaleng untuk Keparat yang Mencuri Motor Temanku!

Kepada:Yth. Bapak/Ibu Pencuri Budiman
Di tempat
Oh pencuri yang budiman dimanapun kamu berada saat ini. Aku disini melihatmu dengan jelas. Kamu terlihat seperti babi yang tengah mengendus. Gemuk karena memakan apa yang bukan hakmu. Tertawa mengendus seperti tak pernah puas dengan jarahanmu.
Pencuri budiman apakah kamu punya anak? Kamu punya istri? Kamu punya orang tua? Apakah kamu tega menyumpal mereka dengan sesuatu yang kamu dapat dari kerugian orang lain. Tega sekali kamu?! mungkin orang yang kamu sayang akan menanggung hukuman dari apa yang kamu perbuat tapi tidak mereka perbuat.
Pencuri budiman ingatlah bahwa sebutuh apapun dirimu, tetap saja tidak ada alibi yang akan membenarkan tindakanmu mengambil motor temanku. Kamu tidak tau betapa temanku menderita karenanya. Bukan karena kerugian berupa materi, tapi lebih pada kepercayaan. Tentu saja pencuri budiman kau tidak akan berempati. Kamu saja tega menipu keluargamu dengan memberikan keharaman. Lalu peduli amat dengan temanku, toh kamu juga tidak menganalnya.
Oh mungkin aku mengiba padamu. Kumohon kalau kamu membaca surat kalengku ini. Segera kembalikan motor temanku. Biarkan hidupmu lebih mulia bukan dihadapan sesama manusia, tetapi juga dihadapan Allah-kamu masih mengingatnya?-. Ingatlah ada hidup setelah hidup. Ada pembalasan setelah perbuatan. Ada hukuman setelah kejahatan. Ada pahala setelah kebaikan.
Percayalah kebaikanmu akan mengalirkan kebaikan selanjutnya. Kalau kamu mengembalikan motor temanku setidaknya kamu juga telah meringankan beban polisi hingga mereka lebih punya waktu dengan keluarganya. Saranku kalau mencuri jangan mencuri motor temanku karena dia orang baik. Kalau kamu ingin mencuri aku akan memberi saran padamu. Ini rahasia kita berdua! Aku ingin meyakinkanmu ini rahasia kita berdua! Jadi…di negeri kita ada banyak orang yang lebih pantas kamu curi. Mereka yang menyebabkan kamu ada sebagai pencuri. Mereka adalah biang para pencuri. Mereka mencuri hakmu dan sekian juta sauadara kita yang lain. Ehm, aku mengatakan padamu mereka adalah KORUPTOR.
Aku memberitamu keberadaan mereka dimana. Gampang…cara mencarinya adalah dengan mencium baunya. Kalau kamu mencium bau tikus busuk, itu mereka. Ambil hakmu. Curi sepuasmu. Kamu akan mendapatkan lebih banyak, lebih mewah. Oh…maka kembalikan motor temanku dan bertobatlah!
Yogyakarta, 24 April 2011

Selasa, 12 April 2011

Manusia Kutu (Buku)







Judul:Bukuku

Penulis: Ajip Rosidi, Budi Darma, Rosihan Anwar, Remy Sylado, Azyumardi Azra, dan Ariel Heryanto,dkk.

Penerbit: Gramedia Pustaka utama

Cetakan 2004, 437 Halaman


Buku adalah jendela dunia. Orang dahulu memang bukan sembarangan dalam membuat pribahasa atau petuah. Begitulah buku. Kalau sebuah dunia memiliki jendela untuk digunakan mengintip maka jelasah itu buku. Tiada yang lain. Hanya dengan membaca sekian ratus halaman, sekian juta kata, kita sudah sanggup berkeliling ke berbagai macam dunia baru yang kita buta. Yang mungkin hingga akhir hayat kita tak akan sanggup menggapainya.

Kalau dibandingkan dengan para penulis di buku ini. Sepertinya buku saya tidak ada apa-apanya. Tapi umur kami juga terpaut jauh. Saya percaya suatu saat saya akan mengalami masa seperti Ajip Rosidi alami. Seperi yang saya kutip di bawah ini.

“Jumlah buku yang saya bawa dari Jepang ada kurang lebih 15.000 judul sedang buku-buku yang sudah di simpan di Jakarta-termasuk buku-buku koleksi sebelum berangkat ke Jepang- kurang lebih ada beberapa buku judul, mungkin mendekati 10.000 judul…”

Bahkan ketika Ajip Rosidi pulang dari Jepang dan menetap ke Indonesia-Pabelan, magelang- Ajip Rosidi mendahulukan pembangunan rumah untuk menampung bukunya ketimbang rumah singgah untuknya. Seperti pada penuturannya berikut.

“…Saya suruh pembuatan bangunan untuk menyimpan buku – buku didahulukan, agar kalau buku-buku itu tiba, bangunan untuk menyimpannya sudah selesai…”

Tidak semua buku yang saya beli saya baca. Tapi membeli buku itu seperti mebeli asset. Bukan sekarang mungkin kita butuh tapi suatu saat kita akan membutuhkannya. Kata seorang teman saya,”Biarkan baju saya itu-itu saja, tapi setidaknya buku yang saya tenteng selau berganti-ganti.”

Buku ini menarik karena bertutur tentang bagaiaman hubungan “kemesraan” para penulis dengan buku. Penulis dalam buku ini -kebanyakan berasal dari kaum akedemisi- memang sudah tentu tidak akan jauh hidupnya dipengaruhi buku.

Pembahasan buku ini yang sedikit melebar ke masalah selain buku membuat saya tidak membaca keseluruhan isi buku. Entah mengenai Politik, Sosial dan Budaya. Itu alasan kenapa saya hanya membaca beberapa nama yang saya kenal saja. Antara lain Ajip Rosidi, Budi Darma, Rosihan Anwar, Remy Sylado, Azyumardi Azra, dan Ariel Heryanto.

Ketika saya menengok realitas sekitar saya –kaum mahasiswa-, rasanya saya harus mengulum kecewa. Bagi saya betapa rendahnya minat baca teman-teman saya memang sedikit keterlaluan. Ketika saya sodorkan beberapa judul- yang sangat amat terkenal!- mereka hanya sanggup geleng kepala. Apa yang salah? Apakah harus selalu mengeluh dengan koleksi perpustakaan yang serba minim, berdebu, dan berbau? Atau waktu luang yang tidak sebanding dengan kesibukkan? Saya kira itu semua hanya alasan untuk menutupi kemalasan untuk memegang buku. Terbukti sekumpulan penulis-orang hebat- mampu membuktikkan bahwa kesibukkan tak menghalangi mereka membaca. Ketika menunggu mereka membaca, ketika bersantai mereka membaca, ketika bertamasya mereka membaca. Ada sekian waktu sisa yang jika diakumulasikan akan menjadi jumlah waktu yang fantastis.

Saya akan mengutipkan salah satu Informasi yang dituliskan Jakob Oetama dalam Prakata buku tentang betapa tertinggalnya minat masayarakat Indonesia dibanding negara lain.
“…buku terjemahan Harry Potter jilid pertema di cetak 15.000 eksemplar. Cetak ulang kedua dalam waktu satu bulan 15.000 eksemplar…”

Sungguh fantastiskan?

Tapi coba baca kutipan selanjutan!

“…Di Thailand, cetakan pertama Harry Potter 100.000 eksemplar padahal, seperti Di Indonesia, di sana buku biasa dicetak 5.000 setiap judul.Di Taiwan, setelah cetak ulang berkali-kali-Cetakan perama 22.000 eksemplar- Harry Potter dicetak 300.000 eksemplar.Ia bandingkan kemudian dengan Australia. Di sana buku Harry Potter jilid 1, 2, dan 3 menduduki rangkin buku terlaris bacaan anak, sementara jilid keempat dicetak 200.000 eksemplar.”

Lalu kesimpulanannya, kemana jumlah penduduk kita yang kurang lebih menyentuh angka 230 Juta? Setidaknya harusnya tidak sejauh itu penyelewangan antara jumlah penduduk dengan angka di atas. Setidaknya kita tidak setertinggal itu dengan negara lain. Bahkan untuk negara sesama Asia Tenggara,Thailand.

Kita harus merenungi kata-kata Mark Twain,” Ada banyak buku. Tapi kita hanya punya sedikit waktu.”

Buku ini sangat perlu dibaca oleh genarasi Indonesia. Bahwa orang hebat tak akan pernah sanggup menjadi hebat tanpa peranan buku. Ayo baca buku ini!


Koleksi Buku Pribadiku

Senin, 11 April 2011

09042011

Hingga beberapa saat saya lupa (malas) untuk mengarsipkan berbagai macam peristiwa dalam hidupku. Terkenang memang dalam catatan otakku. Tapi saya tak yakin itu akan bertahan lama. Otakku terbatas, muatan yang terkadang tidak penting terlindas cepat oleh cerita baru. Lalu yang ada hanya keluapaan. Tidakkah itu kesia-siaan? Saya sadar bahwa menulis kejadiaan yang terjadi saat ini merupakan tabungan kenangan masa tua.

Sabtu, 09 April 2011

Kehilangan apa yang berharga itu tidak sama dengan kehilangan sesuatu yang mahal. Namun, mahal bisa menciptakan rasa berharga itu sendiri.

Ketika Ana kehilangan motor. Saya melihat matanya bengkak dalam tetesan air mata-Jujur itu untuk kedua kalinya saya melihatnya menangis-. Lalu saya hanya diam tak tau apa yang harus dilakukan. Saya hanya tau bahwa saat itu yang harus dilakukan adalah menemaninya sampai semua selesai. Setidaknya keberadaan saya disampingnya membuatnya tenang.

Saya sadar ini hanya musibah. Musibah itu tak pernah sanggup teramal oleh manusia. Kadang kita sudah berhati-hati musibah itu masih menghinggapi diri kita. Kita memang tak pernah sanggup lari dari hal tersebut. Semua sudah tertulis rapi pada perkara bernama takdir.

Satu hal yang saya pelajari kemarin adalah saat sebenarnya ketika musibah itu datang, kita akan tau sebarapa sukses kita menjadi manusia. Manusia tersukses adalah manusia yang sanggup bemanfaat bagi orang lain. Lalu kita akan mengukur kesuksesan kita dengan variable seberapa banyakkah empati itu datang untuk kita? Seberapa banyakkah orang peduli pada kita? Seberapa penting kabar musibah ini berpengaruh bagi orang lain?

Dan saya gagal menjadi orang yang berempati, gagal menjadi orang yang peduli, gagal menjadi orang penting bagi orang lain. Kata Lido, Kita akan dianggap penting oleh orang lain salah satu buktinya ketika kita diberi kepercayaan orang lain.

Malam. Saya menitipkan kegagalan-kegagalan itu pada semua tiupan orchestra music brass yang terdengar menyentuh, menghentak, dan menggugah. Pada setiap lagu saya mencoba membuang perasaan bersalah. Perasaan bahwa saya tak menjadi yang terbaik bagi teman saya. Tak pernah menjadi orang yag dipercaya oleh teman saya. Biarkan itu terkelupas oleh suara seriosa Hana yang mengalun mendayu. Maafkan saya!

NB: Kalau bingung membaca tulisan ini. Saya justru bersyukur.