Pages

Minggu, 28 Maret 2010

Ayahku Payah


Aku merasa menjadi ayah yang kurang baik, selalu menolak permintaan anakku karena alasan kesibukkan. Ya karena memang pekerjaan sebagai wartawan sangat menyita waktuku. Itu yang membuat Asahi, anakku selalu marah padaku. Asahi merasa tak pernah diperhatikan seperti teman-temannya. Asahi menganggap aku tak menyayanginya. Begitu juga dengan permintaannya kali ini. Permintaan untuk ikut lomba ayah dan anak. Bukan aku tak mau tapi karena memang aku tak bisa bermain sepak bola. Tapi kali ini, aku harus mau dan memberikan satu kesempatan untukknya bersamaku.

***

Hari pertama latihan,

            Gagal total, aku seperti anak kecil yang baru belajar bola. Yah, memang dari dulu aku tak suka olahraga. Termasuk sepak bola. Kali ini, bukan aku melatih asahi tapi asahilah yang melatihku.

            Bola yang kutendang selalu menuju arah yang tak karuan. aku juga lebih sering menghindar ketika bola yang ditendang asahi menuju ke arahku. Aku melihat wajah asahi yang tak menyukai keadaan ini. Tapi aku tak tau harus bagaimana.

“Ayah, Ayo semangat! Kita harus menang” Sorak Asahi untuk menyemangatiku.

            Kuanggap sedikit pembelajaran di latihan hari pertama ini cukup membayar kelelahanku.

Hari Ketiga latihan,

            Kami selalu berlatih di hari minggu. Minggu ini tak teralu jauh berbeda dengan minggu pertama dan minggu kedua.  Namun kali ini aku sudah mulai bisa menendang dengan lebih benar. Aku juga sudah tak terlalu takut dengan bola. Bahkan sudah berlatih menyundul bola.

            Ah, rasanya dengan kemampuan seperti ini cuma akan menjadi bulan-bulanan lawan. Tapi aku jadi semakin dekat dengan Asahi, aku jadi semakin tau bahwa asahi telah tumbuh menjadi bocah yang dewasa. Aku selama ini melewatkan semua perkembangan anakku. Aku menyesalinya.

Hari keempat, hari akhir

            Saat istirahat setelah kelelahan latihan. Asahi mendekatiku, memulai berbicara dengan nada yang pean tapi aku mampu mendengarkannya.

“ Ayah, aku ingin ayah tau. Aku ingin ikut lomba ini bukan untuk menang, tapi hanya ingin menghabiskan waktu dengan ayah. Aku…” suarannya terpotong.

“Aku…aku mencintaimu!.” Sambil berlari menuju lapangan lagi.

“Ayah ayo latihan lagi! Kita tak boleh dipermalukan tim lain, ayah! Semangat…Semangat!”

Aku merasakan hawa kesejukan menghembus kesejur tubuhku. Terasa sepoi-sepoi. Tapi begitu menenangkan.

“Maafkan aku asahi” aku berkata lirih, seperti membisik.

                                                                           ***

Babak pertama penyisihan,

            Peraturan pertandingan ini sangat sederhana. Dua lawan dua. Tak ada yang menjaga gawang, hanya saling menyerang. Tim yang menang adalah tim yang berhasil memasukkan paling banyak gol. Sesederhan itu.

“Priiiiit…”suara peluit panjang menandakan pertandingan sudah dimulai.

            Asahi mulai menggiring bola mendekati gawang lawan. Aku menghalangi ayah dari tim lawan. Mempunggunginya. Aku bersiap menerima umpan bola dari asahi. Anak dari tim lawan berusaha menghalau gerakan asahi. Kaki anak dari tim lawan menendang keras bola yang didiring asahi. Bola terlempar ke tengah lapangan. Aku dan ayah tim lawan mengejar bola itu.  Saling menyikut. Ingin mendahului. Ayah dari tim lawan berhasil mendahuluiku. Menggiring bolanya, menendang keras bolanya tepat kegawang kami.

 “ Goal…!!” suara ayah dari tim lawan itu.

            Gemuruh sorak-soarai penonton membahana. Teriakan dan tepuk tangan berpadu membentuk harmoni. Aku dan asahi tertunduk lesu. Jelas kami tak menyukai keadaan ini.

“ Masih ada waktu asahi, tenanglah!” aku meyakinkan, bahwa kita belum sepenuhnya kalah.

***

            Sekarang kami menguasai keadaan. Namun , kami masih belum bisa menghasilkan satu gol pun. Bola yang kutendang selalu meleset dari gawang kecil itu. Keringat mengucur deras. Baju kami basah, aku beberapa kali mengusap keringat di wajahku.

            Bola yang ku giring di rebut dari arah kananku. Aku tak menyadarinya. Anak dari tim lawan itu mengumpan bola itu ke ayahnya. Umpannya sangat tempat. Anak itu sepertinya sangat terlatih. Ayahnya juga bukan ayah yang  payah sepertiku.

            Sekali lagi tendangan ayah dari tim lawan itu membobol gawang kami. Suara sorak penonton membahana keseluruh penjuru. Aku dan asahi mematung.

“ Priiittt…” suara peluit kembali berbunyi ini tanda bahwa lomba telah berakhir.

            Kami harus menerima hasil pertandigan ini, 2-0. Dan kekalahan dibabak pertama. Aku menegakkan tubuhku. Mendekati asahi. Aku ingin menghiburnya. Asahi terlihat kecewa. Aku memahaminya. Ini pertandingan pertamanya denganku. Sekaligus kegagalan pertamanya juga.

“ Apakah kau kecewa pada ayah asahi?”

“ Ah, ayah terlalu GR. Aku tidak kecewa. Tapi aku malah menyukainya. Aku melihat ayah begitu serius. Ayah semangat sekali” sahutnya.

            Dia berlari meninggalkanku.

“ Tapi ayah, permainanmu tetep payah…huek” dia menjulurkan lidahnya kearahku sebelum benar-benar pergi meninggalkannku.

            Aku tertawa keras.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar